Menyelesaikan Masalah dengan Bahasa



Seorang anak perempuan berusia lima tahun ditanya oleh ibunya, apakah di sekolah barunya ia masih suka menangis. “Kalau ingin sesuatu, kan kita bisa bicara, Ummi! Kata Bu guru, menangis itu bahasanya adik bayi!” ujar sang anak yang bernama Aisha itu.
Aisha sudah memahami bahasa sebagai alat komunikasi dan cara untuk menyelesaikan masalah. Kemampuan tersebut terus dibangun baik oleh ibu maupun gurunya sehingga pada usia enam setengah tahun kemampuannya sudah makin meningkat.
Suatu hari, kakak laki-laki Aisha yang berusia sembilan tahun mogok mengaji. Alasannya, teman mengajinya suka kasar dan main fisik. Terakhir, temannya itu menggunakan sarung menarik leher kakak Aisha sehingga hampir tercekik.
Setelah ayah dan ibunya berdiskusi, kakak Aisha sementara diijinkan untuk berhenti mengaji, karena khawatir terjadi bullying sehingga dapat berpengaruh buruk. Ayah dan ibu Aisha ingin menyelesaikan masalah itu, dengan berbicara pada orangtua anak tersebut, tapi mereka khawatir terjadi salah paham.
Keesokan harinya, sebuah SMS muncul di layar HP ibu Aisha, “Assalamualaikum….Aku dapat info dari Aisha tentang apa yang dilakukan Anandaku. Maaf ya Bu….Alhamdulillah, aku dapat infonya, jadi bisa segera diurus”. Wassalam.
Sore hari, teman kakak Aisha datang meminta maaf dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya. Selanjutnya mereka pergi mengaji bersama.
Orang tua Aisha merasa terharu. Di saat mereka masih kebingungan memikirkan cara agar anak lelakinya tetap bisa mengaji, tanpa sepengetahuan mereka, Aisha telah bertindak. Menurut Aisha, tadi siang ia mencari ibu tersebut dan berbicara mengenai masalah kakaknya. Aisha kini bukan hanya mampu menyelesaikan masalah dirinya, namun juga orang lain.
***
Ketika menghadapi masalah, pada umumnya anak-anak menangis, merengek, atau mengamuk. Bahkan ada anak yang menggunakan fisik seperti memukul, mencubit, atau menendang. Sebagian lagi justru diam. Padahal cara tersebut justru tidak menyelesaikan masalah. Masalah anak akan teratasi jika ia dapat mengomunikasikan dengan baik apa yang diinginkan dan apa yang tidak diinginkannya.
Pada saat lahir, anak hanya dibekali tangisan untuk berkomunikasi. Karena itulah, sang ibu harus membaca arti tangisan sehingga bisa membantu menyelesaikan masalah bayinya ketika ia haus, lapar, basah, atau ingin dipeluk.
Anak mulai berbicara dengan bahasa bibir (babbling). Jika orangtua sering mengajak bicara bayinya, maka ia akan dapat mengucapkan kata-kata. Pada usia empat bulan sampai dua tahun, ia terus belajar berbicara dibantu dengan dukungan gerak fisik. Secara bertahap ia mulai merangkai kata menjadi kalimat, sehingga ia dapat mengungkapkan isi hatinya dengan jelas. Jika demikian, maka hidup anak akan nyaman, karena orangtua atau lingkungan dapat merespon komunikasinya secara akurat. Tangisan tidak akan digunakan lagi sebagai sarana komunikasi, tapi hanya untuk melepaskan emosi baik dikala sedih atau bahagia.
Dari cerita di atas, kita bisa melihat bahwa kemampuan berkomunikasi anak harus terus dibangun. Sebagaimana Aisha yang di sekolahnya sudah transisi masuk SD karena sudah mampu menyelesaikan masalah dengan menggunakan bahasa. Jika kemampuan berbahasa tidak dibangun, bisa jadi hingga dewasa seseorang menyelesaikan masalah masih dengan tangisan atau pukulan. 


Ida S Widayanti


0 komentar:

Posting Komentar