Mlarat Ning Ningrat




Bagaimana pandangan dunia suatu bangsa terhadap kekuasaan atau lebih spesifik lagi jabatan? Tentu berbeda-beda antara bangsa yang satu dengan puak yang lain. Benedict Richard O’Gorman Anderson dalam bukunya, Language and Power, menggarisbawahi pandangan dunia yang sangat menarik dari suku Jawa atau pribumi Indonesia, sebagaimana disimpulkannya setelah menganalisis novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Pram mengkritik dengan sangat keras kegemaran kaum pribumi terhadap jabatan kekuasaan. Bagi kaum pribumi, demikian kesimpulannya, jabatan kekuasaan itu segalanya. “Harta benda boleh punah, keluarga boleh hancur, nama boleh rusak, tapi jabatan harus selamat,” demikian tulisnya.

Jabatan, demikian katanya selanjutnya, bukan hanya kehidupan. Di dalamnya juga ada dimensi kehormatan, kebesaran, harga diri, serta penghidupan sekaligus. Lihat saja, orang berkelahi, berdoa, bertirakat, bersemadi, memfitnah, membohongi, banting tulang, atau mencelakakan sesama demi sang jabatan. Sekalipun boleh jadi penghasilan yang diberikan dalam jabatan itu tidak seberapa, dan yang ada padanya kelak hanya satu blangkon (topi tradisional) belaka tidaklah mengapa asalkan jabatan itu tetap bisa bertahan di pelukannya.

Jika pandangan dunianya seperti ini, maka tak mengherankan jika disini banyak orang memimpikan jabatan: menjadi raja atau sultan dulu, dan presiden sekarang. Jangankan politikus partai yang pekerjaannya berburu kekuasaan, bahkan orang-orang yang selama ini suka mengaku bukan politikus pun tanpa malu-malu tergiur oleh jabatan presiden. Apalagi menjelang pemilihan presiden 2014 seperti sekarang ini. Meski waktu masih hampir tiga tahun lagi, suasana gaduh sudah mulai terasa. Presiden SBY pun sudah mengamati mereka yang memiliki ambisi ke sana, dalam catatannya, sudah mencapai 26 orang.

Entah berapa banyak lagi jumlahnya. Yang pasti, sekarang pun sudah banyak benar orang-orang mematut-matut diri (Jawa: jinjit-jinjit) merasa bisa menjadi presiden. Banyak yang rumangsa bisa (merasa bisa) dan entah berapa di antara mereka itu yang ora bisa rumangsa (tidak bisa merasa). Mengapa orang bersemangat memperebutkan jabatan presiden? Dalam laut dapat diduga, dalam hati (politisi) siapa yang tahu.

Yang jelas, kata Ibnu Khaldun dalam magnum opus-nya, Muqaddimah, kedudukan sebagai raja (dulu) atau presiden (kini) adalah kedudukan yang terhormat dan di mana pun diperebutkan. Jarang sekali kedudukan ini dilepaskan dengan sukarela, sebaliknya selalu di bawah paksaan. Pasalnya, kedudukan ini memberikan kepada orang yang memegang kedudukan itu segala kekayaan duniawi. Juga kepuasan lahir dan batin yang luar biasa (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terjemahan Ahmadie Thoha, Pustaka Firdaus, 2000, halaman 187).

Jika orangnya idealis dan jujur, maka bukanlah kekayaan duniawi yang dicari dengan kedudukan itu, melainkan kepuasan lahir dan batin yang luar biasa itu tadi. Mungkin, bagi golongan ini, yang dilihat dalam jabatan presiden adalah dan hanyalah aspek kehormatan, keagungan, dan keagungbinataraannya. Yang dibayangkan jika kelak menjadi presiden adalah iring-iringan mobil panjang dengan sirene yang meraung-raung di jalan yang terdiri dari mobil berplat RI-1, mobil pengawal, ambulans, mobil pemadam kebakaran, dan mobil-mobil lainnya yang senantiasa menyertainya ke mana pun dia pergi. Ditambah dengan hak-hak protokoler lainnya, yang serba-megah dan wah itu.

Pantas saja begitu banyak orang menginginkan kedudukan itu. Bukankah yang terbayang-bayang di kebanyakan pikiran orang Indonesia tentang jabatan tersebut memang aspek itu? Sementara itu, sisi kapabilitas diri dan tanggung jawab tidak pernah dibayangkan. Padahal, menjadi presiden bukan hanya soal akseptabilitas, melainkan juga kapabilitas. Tak mengherankan jika banyak tokoh yang begitu merasa sedikit popular langsung saja merasa dirinya telah cukup presidensial. Sedikit sekali yang membayangkan dalam jabatan yang sangat tinggi itu semangat noblesse oblige; dalam keningratan ada kewajiban dan tanggung jawab yang tinggi!

Yang didambakan rakyat adalah datangnya kepemimpinan yang, meminjam kata-kata yang sering dikutip mendiang Romo Mangunwijaya, mlarat ning ningrat. Artinya kira-kira: meski miskin, memiliki harga diri, percaya diri, dan tidak mencuri, seperti kebanyakan rakyatnya yang memang masih melarat. Di sinilah uniknya slogan budaya tradisional Nusantara yang satu ini: rakyat mendambakan hadirnya semangat mlarat ning ningrat, bukan hanya bagi dirinya, melainkan juga bagi pemimpin-pemimpinnya, termasuk presidennya.

Jika memang demikian pandangan dunia yang ada dalam alam pikiran mereka yang berkompetisi tersebut, maka perburuan jabatan itu absah dan mulia belaka. Bukan hanya noblesse oblige, melainkan juga mlarat ning ningrat! Masih adakah pandangan dunia (world view) seperti sekarang ini? Wallahua’lam bi’l-shawab.

Hajriyanto Y Thohari

0 komentar:

Posting Komentar