Pemimpin Berjiwa Pedagang



Pemimpin mestinya berjiwa pemimpin. Seorang pemimpin seharusnya menjadi tauladan, pengayom, pelindung, pemberi arah masa depan, inspirator,  serta kebanggaan bagi mereka yang dipimpinnya. Pemimpiun  juga harus  adil dan jujur. Oleh karena itu pemimpin harus kuat, agar berhasil menunaikan tugas-tugasnya yang berat itu.

Sekarang ini banyak orang ingin menjadi pemimpin. Mereka mengira bahwa pemimpin itu enak, oleh karena dihormati, disegani,  dan diikuti kemauannya. Dibayangkan bahwa posisi itu bergengsi dan prestisius. Anggapan  mereka,  di mana-mana derajad dan gengsi itu mahal, sedangkan pada jabatan  itu terdapat gengsi dan prestise itu.  Itulah sebabnya, posisi itu  harus dikejar.

Dalam Islam pemimpin  itu dianggap sebagai amanah.  Para pemimpin harus bertanggung jawab atas amanah yang dibebankan kepadanya. Oleh karena itu,  mengikuti ajaran  Islam, akan menjadi aneh manakala  posisi pemimpin harus diperebutkan. Orang semestinya menghindari amanah, akan tetapi  pada kenyataannya justru  sebaliknya, yaitu memperebutkannya.

Amanah seharusnya tidak dicari, dan apalagi  diperebutkan. Akan tetapi manakala amanah itu diberikan juga tidak boleh ditolak.  Mereka yang memberi amanah,   tentu  sudah menghitung-hitung bahwa  yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk menjalankannya. Sebaliknya menjadi aneh, manakala  seseorang mengkalkulasi kapasitas dirinya sendiri bahwasanya ia mampu  menanggung amanah itu.

Dalam soal  lihat melihat, siapapun  akan lebih mudah memandang  orang lain dari pada  melihat dirinya sendiri.  Orang bisa berhasil melihat dirinya sendiri ketika menggunakan cermin. Manakala di dunia ini tidak ada cermin, maka bisa dibayangkan, tidak akan ada seorang pun yang  mampu  melihat wajahnya sendiri. Oleh karena itu,  tanpa cermin akan menjadi aneh  seseorang bisa menyimpulkan,  bahwa diri  tampan atau cantik.

Begitu pula soal kemampuan memimpin, maka yang seharusnya paling tahu adalah orang lain. Mereka yang akan dipimpin itulah yang bisa menimbang dan mengukur bahwa seseorang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk melaksanakan amanah kepemimpinan. Dalam soal kepemimpinan, orang lain  berperan sebagai cermin atau alat untuk melihat kemampuan calon pemimpinnya.

Konsep demokrasi rupanya sangat tepat dalam hal memilih pemimpin. Untuk menjadi seorang pemimpin bukan didasarkan kemauan yang bersangkutan, tetapi atas dasar pilihan orang-orang yang akan dipimpinnya.  Pemimpin  seperti itu akan  dicintai dan didukung  oleh  mereka yang memilihnya.  Hubungan pemimpin dan mereka yang dipimpin  menyatu, bagaikan kepala dan seluruh anggota tubuhnya.

Namun aneh, kepemimpinan di negeri yang mengaku demokrastis ini, hubungan itu dibangun  atas dasar  transaksional. Pemilihan pemimpin bukan didasarkan atas  kepercayaan dan apalagi kecintaan, melainkan  diwarnai oleh transaksi-transaksi yang tidak murah.  Transaksi itu semakin hari semakin jelas hingga jumlah besaran  harganya. Untuk menjadi seorang bupati, wali kota, gubernur, dan juga  anggota legislatif tidak pernah gratis.Mereka harus membayar, baik untuk biaya partai, kampanye, dan ongkos yang terkait dengan proses pemilihan.       

Melihat kenyataan itu, menjadi  pemimpin di masa modern  seperti sekarang ini tidak cukup berbekalkan keikhlasan, kecerdasan, pengalaman,  dan sejenisnya, tetapi juga  harus ada syarat lagi,  ialah  kekayaan dalam jumlah besar.  Tanpa kekayaan jangan berharap orang bisa menjadi bupati, wali kota, gubernur,  dan juga anggota DPR. Para guru di sekolah tidak seharusnya mendorong semua siswanya kelak agar menjadi pemimpin. Pemimpin, terutama pemimpin formal,dengan sistim seperti itu  hanya diperuntukkan bagi orang kaya.

Oleh karena itu, menjadi tidak sulit dimengerti,  manakala ada orang  melakukan penyimpangan untuk mendapatkan keuntungan dari jabatannya.  Sebelumnya menjabat, mereka berani membayar,  oleh karena hitung-hitung akan mendapatkan keuntungan dari jabatannya itu, sekalipun resikonya tinggi, ialah masuk bui. Mereka sudah berniat dan berjiwa pedagang. Persoalannya adalah, apakah negeri yang dipimpin oleh orang-orang yang berjiwa pedagang itu akan menjadi  maju, adil,  dan sejahtera?

Mengikuti apa yang terjadi selama ini,  jawaban yang pasti dari pertanyaan tersebut adalah akan semakin banyak pejabat yang masuk penjara. Uang negara dikorup untuk mengganti ongkos menjadi pejabat. Mungkin ada saja, pejabat yang tidak melakukan penyimpangan seperti itu. Akan tetapi,  mengikuti logika bahwa semua orang tidak akan mau merugi, maka wajar  manakala terjadi prilaku korupsi di mana-mana. KPK mestinya tidak saja membidik koruptor tetapi juga memperbaiki sistem yang berlaku. Sistem itulah sebenarnya yang mengubah orang baik menjadi buruk, atau setidaknya  menjadikan pemimpin berjiwa pedagang. Wallahu a’lam.


Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar