Seorang teman, suatu ketika mengajak bercanda.
Teman akrab ini saya kenal sebagai seorang pekerja keras. Diserahi tugas apa saja, akan ia
laksanakan hingga tuntas. Tidak pernah ia meninggalkan tanggung jawab.
Kebiasaan seperti itu menjadikan banyak orang menyenanginya, termasuk saya.
Saya menyukai siapa pun yang mau bekerja keras, apalagi disertai keikhlasan.
Suatu ketika, saya bertanya kepadanya, apa yang
mendorongnya memiliki semangat kerja, lebih-lebih manakala pekerjaan itu akan
memberi manfaat bagi orang lain. Pertanyaan itu ternyata tidak dijawab secara normatif dengan mengacu pada
ajaran agama yang dianutnya. Jawaban itu agak mengejutkan, karena saya
anggap tidak biasa. Ia mengatakan, sejak kecil terbiasa menjadi pengembala.
Atas jawaban itu, dalam hati saya bertanya apa
hubungan kerja keras dan pengembala. Biasanya pertanyaan tersebut dijawab secara normatif, bahwa sebaik-baik
orang adalah yang paling banyak memberi
manfaat bagi orang lain. Tetapi ternyata jawaban itu mengaitkan antara kerja
keras dan pengembala. Apa hubungan antara keduanya?
Jawaban itulah
yang agak aneh, tetapi menarik. Ia menjelaskan bahwa siapapun yang pernah menjadi pengembala akan
berpikir dengan logika pengembala. Sebagai seorang pengembala, maka sehari-hari yang dipikirkan adalah
bagaimana agar ternaknya mendapatkan rumput yang lebat, subur, dan bisa segera
mengenyangkan. Pengembala merasa sukses manakala ternaknya bisa
makan dengan enak, sekali pun dirinya sendiri, misalnya, tidak makan. Bagi pengembala yang dipikirkan adalah ternaknya, bukan
dirinya sendiri. Ia akan
selalu bekerja keras, bahkan sampai melupakan dirinya sendiri.
Seorang pengembala
akan merasa senang dan puas manakala ternaknya tampak kenyang, yang hal itu
bisa dilihat dari perut ternaknya. Ternak yang sudah kenyang, perutnya akan
tampak membesar. Selain itu, ternak yang sudah kenyang tidak kelihatan gelisah.
Binatang pada umumnya akan tampak
gelisah jika sedang lapar atau
berhasrat kawin. Jika nafsu itu tidak
ada, maka binatang akan tampak tenang.
Melihat suasana tenang seperti itu, pengembala akan merasa senang dan puas. Karena
itu, pengembala selalu bekerja keras untuk menjadikan
ternaknya kenyang.
Sekali pun berpendidikan rendah atau bahkan tidak
pernah sekolah, pengembala selalu mengerti apa yang seharusnya dilakukan. Selain itu, ia juga mengerti
ukuran-ukuran keberhasilan sebagai seorang pengembala. Seorang pengembala tidak akan iri dengan kenikmatan yang dirasakan
oleh ternaknya. Ia juga tidak akan
berebut makanan dengan hewan yang dipeliharanya itu.
Di akhir
penjelasannya itu, ia mengatakan bahwa jiwa dan semangat kerjanya itu
diperoleh dari pengalaman tatkala menjadi pengembala. Ia merasa senang tatkala
melihat orang lain merasa gembira atas jasa yang ia berikan. Bahkan, menurut pengakuannya, kesenangan
itu dirasakan lebih mendalam tatkala
melihat orang lain bergembira daripada ketika
ia sendiri mendapatkan sesuatu dari orang lain.
Perasaan teman
yang diungkapkan dalam cerita itu sebenarnya juga saya alami sendiri. Di waktu kecil, semasa
masih bertempat tinggal di desa, saya juga memiliki pengalaman seperti yang
diceritakan itu. Bahkan mungkin pengalaman saya justru lebih variatif. Artinya,
jenis ternak yang saya gembalakan lebih
banyak, yaitu mulai dari kambing, sapi, kerbau, dan kuda. Dari pengalaman itu,
saya juga mendapatkan pengetahuan
tentang karakter berbagai jenis ternak.
Pengalaman sebagai pengembala ternyata sedemikian
penting, hingga menurut riwayat, Nabi Muhammad, di masa kecil juga pernah
menjadi pengembala kambing. Dari kisah itu, saya membayangkan umpama para pemimpin di bidang apa saja,
dalam menunaikan tugas kepemimpinannya bermental pengembala, kiranya rakyat
akan merasa senang. Pemimpin yang bermental pengembala akan merasa senang
tatkala melihat orang-orang yang dipimpinnya merasa gembira karena kebutuhannya
terpenuhi. Sayang, pemimpin bermental pengembala itu kini jumlahnya tidak
banyak. Menjadi pemimpin yang bermental pengembala memang tidak mudah dan
berat.
Imam Suprayogo
0 komentar:
Posting Komentar