Prakarsa
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA untuk menggali dan merumuskan konsep pendidikan yang bersifat holistik
lewat kegiatan ilmiah dan menghimpun pandangan para pemerhati pendidikan Islam,
sebagaimana yang dilakukan sekarang ini, menurut hemat saya, adalah sangat
tepat. Para pemimpin bangsa dan juga masyarakat sudah
sedemikian percaya, bahwa hanya lewat pendidikan, masyarakat akan bisa menjadi
maju, sejahtera, bermartabat, dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain.
Namun sementara ini, ------- diakui atau tidak,
ternyata tidak semua konsep pendidikan
benar-benar berhasil mengantarkan peserta didik menjadi pribadi tangguh
dan berkualitas, yaitu berakhlak mulia,
cerdas, terampil, mandiri, dan mencintai
sesamanya. Buktinya, pada
akhir-akhir ini banyak orang mengeluh tetang hasil pendidikan selama itu. Kasus-kasus tawuran antar pelajar dan
mahasiswa, korupsi, nepotisme, dan bahkan juga semakin banyaknya pengangguran
intelektual, dan lain-lain adalah disebabkan oleh konsep dan implementasinya
yang belum berkualitas.
Kritik lainnya bahwa pendidikan selama ini baru
mampu mengembangkan aspek intelektual,
namun belum memperhatikan aspek lainnya. Orang menyebut bahwa pendidikan selama ini hanya
mengedepankan aspek kognitif, dan kurang mampu mengembangkan aspek psikomotorik
dan afektif. Pendidikan baru berhasil mengantarkan generasi
muda menjadi cerdas, tetapi belum berkarakter
sebagaimana diharapkan. Padahal pendidikan yang mengabaikan karakter justru akan menjadi perusak,
baik terhadap dirinya sendiri dan apalagi terhadap masyarakat lingkungannya. Kritik semacam itu sudah lama dilontarkan,
akan tetapi jalan keluar dari keadaan yang kurang memuaskan itu juga belum
ditemukan.
Pendidikan Muhammadiyah
Sejak lama Muhammadiyah memiliki jargon yang amat
jelas dan tegas, yaitu ingin kembali kepada al Qur’an dan hadits nabi. Jargon itu manakala diimplementasikan
dalam penyusunan konsep pendidikan
adalah luar biasa hebatnya. Al Qur’an dan hadits Nabi telah diimani sebagai
sumber ajaran Islam yang luas, menyeluruh, dan atau sempurna. Oleh karena itu, pada al Qur’an dan Hadits Nabi juga diyakini
bahwa di dalamnya terdapat konsep pendidikan yang jelas dan tangguh.
Bukan bermaksud
sengaja mengkritik dan mengurangi rasa hormat, bahwa sekalipun Muhammadiyah sudah berusia 100 tahun atau
satu abad, ternyata belum berhasil sepenuhnya merumuskan konsep pendidikan
secara jelas yang bersumber dari ajaran Islam, yaitu al Qur’an dan hadits nabi. Pada sekolah-sekolah Muhammadiyah
mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi diajarkan al Islam dan
Ke-Muhammadiyahan. Akan tetap isi kedua
mata pelajaran itu, ---------setahu saya, belum menggambarkan lingkup ajaran
Islam yang dipandang luas, komprehensif, dan menyeluruh.
Penyebutan adanya pelajaran atau mata kuliah
al-Islam dan Ke-Muhammadiyahan di lembaga pendidikan Muhammadiyah terpisah dari
mata pelajaran lainnya adalah menggambarkan bahwa ajaran Islam masih dipandang
secara terpisah dari rumpun ilmu lainnya yang dikembangkan di lembaga
pendidikan itu. Tegasnya,
bahwa di lembaga pendidikan Muhammadiyah
masih terjadi pandangan dikotomik dalam melihat ilmu pengetahuan, yaitu antara
ilmu agama dan ilmu umum. Sementara al Qur’an dan hadits sendiri tidak
mengenalkan bangunan ilmu seperti itu.
Cara pandang
dikotomik seperti itu juga tampak dari adanya fakultas agama di berbagai
universitas Muhammadiyah. Pembagian atau kategorisasi seperti itu mempertegas
bahwa di lembaga pendidikan Muhammadiyah masih memandang ilmu secara dikotomik. Dengan demikian, maka belum tampak
adanya perbedaan yang sinifikan antara pendidikan Muhammadiyah dengan lembaga lain pada umumnya. Kalaupun terdapat perbedaan, ternyata
perbedaan itu hanya terkait dengan jumlah jam pelajaran, yang di lembaga
pendidikan Muhammadiyah jumlah jam pelajaran itu sedikit lebih banyak.
Melalui gambaran
singkat seperti itu, tampak bahwa Muhammadiyah selama ini belum berhasil
membangun konsep pendidikan yang utuh. Jargon kembali kepada al Qur’an dan
hadits yang sedemikian indah belum
berhasil ditangkap dan diimplementasikan dalam menyusun konsep pendidikan yang
utuh dan holistik. Selama ini Islam hanya dikaji dari perspektif yang terbatas, misalnya baru
yang terkait dengan petunjuk kegiatan
ritual. Hal seperti itu juga tampak dari
mata pelajaran agama yang diberikan, yaitu masih di seputar fiqh, tauhid, akhlak, dan
sejarah Islam.
Pendidikan dalam Persepetif Islam
Kitab suci al Qur’an dan hadits nabi mestinya
dipahami sebagai gambaran utuh tentang konsep pendidikan. Oleh karena itu jargon kembali pada al Qur’an dan hadits nabi
seharusnya juga terlihat di dalam penyelenggaraan pendidikan. Demikian pula, Rasulullah tatkala
dipandang sebagai pendidik maka seharusnya juga dicontoh dalam menjalankan
perannya itu. Selain itu,
jika Nabi Muhammad disebut sebagai seorang yang berakhlak al Qur’an, maka
semestinya siapa saja yang mengimani
menjadikannya sebagai tauladan hidup dan dasar dalam menunaikan tugas-tugas
pendidikan.
Dalam Islam melalui al Qur’an dikenal
konsep-konsep manusia ideal, misalnya muttaqun, ulul al bab, ulin nuha, ulil
abshar dan mungkin masih ada lagi yang lain. Konsep itu menggambarkan secara sempurna karasteristik manusia unggul dan ideal. Semua
aspek kehidupan manusia disentuh lewat konsep itu. Manusia terdiri atas qolb,
akal, ruh atau jiwa, dan jasad. Semua unsur itu
mendapat perhatian dan dikembangkan
dalam pendidikan Islam.
Pendidikan Islam mengembangkan aspek qolb lewat
kegiatan ritual. Manusia dianjurkan agar banyak berdzikir atau mengingat Allah,
menjalankan shalat, berpuasa di Bulan Ramadhan, membayar zakat, dan berhaji, semua itu adalah dimaksudkan untuk memperbaiki
perilaku, watak dan karakter. Kegiatan itu dilakukan secara terus menerus tanpa henti sepanjang hayat.
Itulah pendidikan qolb. Selain itu, al Qur’an juga menganjurkan
agar manusia selalu memperhatikan penciptaan langit dan bumi, banyak membaca
alam semesta, dan lain-lain, semua itu
adalah agar manusia memiliki kecerdasan atau ketajaman akalnya.
Selanjutnya, agar seseorang menjadi
unggul, maka mereka tidak diperbolehkan mengkonsumsi makanan yang tidak
halal, seperti bangkai, darah, daging babi, makanan yang disembelih tanpa
menyebut asma Allah, hasil korupsi, mencuri, merampok dan lain sebagainya. Lewat pendidikan Islam, manusia harus sehat
secara jasmani dan ruhani. Oleh karena itu al Qur’an mengajarkan tazkiyatun
nafs atau selalu mensucikan diri.
Sebagai sosok
pendidik dan pegajar utama dalam pendidikan Islam adalah Nabi. Tugas
rasulullah, Muhammad saw., pada hakekatnya adalah memberikan pendidikan kepada
umat manusia. Berbekalkan sifat-sifatnya yang
mulia, yaitu sidiq, amanah, tabligh, dan
fathonah, nabi menjalankan tugas
pendidikan terhadap para umatnya
dalam sepanjang hidupnya.
Setelah nabi wafat, tugas nabi tersebut
telah selesai, maka kemudian diteruskan oleh para sahabat, tabi’in, dan
selanjutnya oleh para ulama secara
sambung-menyambung dari generasi ke generasi. Itulah sebabnya para ulama
disebut sebagai pewaris nabi, yaitu mewarisi tugas rasul untuk mendidik umat. Atas
dasar pandangan itu maka pendidikan Islam adalah pendidikan al
Qur’an, dan agar menghasilkan pribadi-pribadi yang berakhlak al Qur’an itu
pula, maka cara-cara yang dilakukan oleh nabi
mestinya juga dijadikan acuan dalam mengembangkan pendidikan. Itulah sebenarnya yang disebut sebagai
pendidikan Islam yang berciri utuh dan
holistik.
Pendidikan Muhammadiyah Seharusnya Islami dan
Holistik
Penyebutan agar
pendidikan Muhammadiyah seharusnya Islami bukan berarti bahwa sebelum itu masih
belum bercirikan Islam, tetapi
semata-mata untuk mempertegas bahwa seharusnya organisasi Islam modern ini bersungguh-sungguh dalam
mengimplemenatasikan konsep-konsep yang ada di dalam al Qur’an dan assunnah
dalam pendidikan.
Demikian pula, penyebutan keharusan agar
bersifat holistik supaya pendidikan Muhammadiyah benar-benar berhasil mengembangkan
semua aspek kehidupan manusia secara utuh sebagaimana telah disinggung di muka.
Manakala konsep pendidikan Muhammadiyah
benar-benar secara sempurna bersifat Islami dan holistik maka tidak akan
ada lagi pemisahan antara ilmu-ilmu umum dan ilmu agama. Ilmu pengetahuan dipandang satu dan utuh,
yaitu bersumber dari ciptaan
Tuhan yang amat sempurna. Selain itu, pendidikan yang
dihasilkan akan melahirkan sosok manusia ideal sebagaimana yang dirumuskan
dalam al Qur’an dengan konsep ulul al bab. Sebagai orang yang menyandang predikat Ulul al
bab sebagaimana dijelaskan pada al Qur’an surat Ali Imran ayat 191,
adalah mereka yang selalu
berdzikir pada saat berdiri, duduk, dan
berbaring. Selain itu juga, mereka
selalu memikirkan penciptaan langit dan bumi, dan selalu yakin bahwa semua ciptaan Allah
tidak ada yang sia-sia.
Sebagai bentuk
implementasi dari berdzikir pada
setiap waktu, maka setidaknya
seseorang harus selalu ingat pada Allah
melalui shalat lima waktu, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan ramadhan, dan haji. Selanjutnya sebagai
implementasi dari kegiatan memikirkan
penciptaan langit dan di bumi adalah melakukan kegiatan berupa belajar ilmu
pengetahuan alam, sosial, dan humaniora. Sesuai
petunjuk al Qur’an bahwa setiap
mengkaji alam seharusnya memulai dengan menyebut nama Allah, atau
bismirabbika dan dilakukan hingga sampai pada puncak religiousitas, yaitu
mengucapkan tasbih atau warabbukal
akram. Kemudian atas kesadaran bahwa semua ciptaan Allah tidak ada yang
sia-sia, maka mereka meyakini pentingnya teknologi. Atas dasar
konsep ulul al bab itu, maka tidak ada lagi pemisahan antara ilmu agama,
sains, dan teknologi. Ketiganya terangkum dalam konsep sebagai manusia
ideal itu.
Lebih lanjut
lagi, seharusnya berdasar al Qur’an dan hadits Nabi perlu digali dan
ditangkap, apa sebenarnya misi pokok dan
mendasar dari kehadiran al Qur’an dan hadits nabi itu. Lewat perenungan yang
lama dan mendalam, saya menangkap bahwa ajaran Islam yang bersumber pada al Qur’an
dan hadits Nabi sebenarnya membawa lima misi besar. Kelima misi besar Islam itu adalah
sebagai berikut: Pertama, kehadiran Islam dimaksudkan agar umat
manusia menjadi kaya ilmu. Betapa strategis posisi ilmu
pengetahuan, hingga ayat yang pertama kali turun adalah perintah membaca.
Selain itu, satu di antara asmaul husna
yang disebutkan pertama kali adalah al Khaliq atau Yang Maha Pencipta.
Rupanya membaca dan mencipta adalah kunci keberhasilan hidup bagi semua orang.
Misi Islam kedua adalah menjadikan agar manusia
berkualitas unggul dengan karasteristik sebagai berikut: (a) berhasil memahami dirinya sendiri sebagai bekal
untuk mengenal Tuhannya atau bertauhid, (b) bisa dipercaya atau memiliki trust. Muhammad sebelum diangkat
sebagai rasul, beliau dikaruniai sifat jujur hingga oleh masyarakatnya diberi
sebutan al amien. (c) selalu melakukan tazkiyatun nafs atau menjaga kesucian dirinya, dan (d) selalu berpikir dan berbuat hingga di luar kepentingan dirinya sendiri. Selanjutnya misi ketiga adalah memelihara keadilan. Betapa pentingnya keadilan dalam Islam harus
ditegakkan terhadap siapapun, tidak terkecuali terhadap diri sendiri dan juga
keluarganya.
Misi keempat, Islam memberi tuntunan dalam
melakukan kegiatan ritual, seperti
shalat, zakat, puasa, haji, dan seterusnya. Rupanya kegiatan ritual ini dipandang sebagai
hal yang pokok hingga mengalahkan misi lainnya dan bahkan dijadikan bahan debat
dan pertikaian hingga melahirkan perpecahan umat. Perbedaan dalam pelaksanaan
ritual sebenarnya sudah terjadi sejak zaman Rasulullah. Namun pada saat terjadi
perbedaan dan dilaporkan kepada Rasulullah, maka Rasul selalu memilih alternatif yang
sekiranya menyatukan umat. Berbeda hal itu dengan zaman sekarang, tatkala
terdapat perbedaan, maka dilestarikan hingga melahirkan perpecahan umat
secara terus menerus.
Misi kelima adalah konsep amal saleh. Secara sederhana amal adalah bekerja,
sedangkan saleh artinya adalah benar, tepat, dan sesuai. Oleh karena itu
beramal saleh artinya adalah bekerja secara benar atau disebut sebagai bekerja
secara profesional. Kegiatan mendidik diserahkan kepada para guru, bidang
kesehatan diserahkan kepada dokter, bidang pertanian, ekonomi, peternakan dan
lain-lain diserahkan kepada para ahlinya. Itulah yang dimaksud dengan beramal
saleh. Amal saleh bukan lagi diartikan sebagai kegiatan berderma dengan
jumlah yang amat terbatas atau seikhlasnya.
Manakala konsep ulul al bab dan kelima misi besar
Islam itu ditangkap dan dipahami secara sempurna, maka pendidikan Muhammadiyah
tidak lagi bersifat dikotomik. Pendidikan Islam tidak sebatas hanya meliputi ilmu tauhid, fiqh,
akhlakh, tarekh dan Bahasa Arab. Demikian pula, Muhammadiyah tidak lagi
memahami bahwa yang disebut sebagai rumpun ilmu ke-Islaman hanya meliputi
ilmu ushuluddin, syari’ah, dakwah, tarbiyah,
dan adab, akan tetapi adalah meliputi semua bidang ilmu yang digali dari
ayat-ayat qawliyah dan sekaligus ayat-ayat kawniyah.
Selain itu,
mengacu pada keyakinan Islam
bahwa manusia itu terdiri atas aspek dhahir dan bathin, terdiri atas qalb, akal, jiwa atau ruh dan jasad, maka tatkala melakukan
kegiatan pendidikan tidak saja mempercayai pandangan positifistik yang hanya
melihat aspek dhahir atau hal yang bisa diobservasi,melainkan juga melihat aspek yang lebih mendalam yaitu aspek
bathin. Oleh karena
itu dalam menjalankan pendidikan, Muhammadiyah
selain memerhatikan standar-standar pendidikan juga akan melihat aspek
di luar itu, misalnya memerhatikan kekuatan niat atau motivasi. Dan keberhasilan pendidikan bukan saja diukur
dari aspek yang tampak, melainkan pada kekuatan yang tidak tampak, yaitu
misalnya keimanan, ketaqwaan, akhlak, dan seterusnya.
Penutup
Selama ini
Lembaga Pendidikan Muhammadiyah dan tidak terkecuali Universitas Prof. Dr.
HAMKA Jakarta sudah dikenal luas keberhasilannya dalam mengelola pendidikan.
Manakala keberhasilan itu disempurnakan dengan pengembangan konsep yang lebih utuh dan atau
holistik sebagaimana yang bisa dikaji dari al Qur’an an Hadits Nabi, maka ke
depan Muhammadiyah akan benar-benar menjadi pelopor pembaharuan pendidikan.
Kehebatan Pendidikan Muhammadiyah tidak saja
tampak dari idealisme pengelolanya, manajemen dan
kepemimpinannya,melainkan juga dilihat dari ketangguhan konsepnya yang secara
langsung merujuk pada al Qur’an dan hadits.
Dalam al Qur’an disebutkan tugas nabi sebagai
pendidik meliputi empat jenis kegiatan, yaitu (1) mengajak bertilawah, (2) tazkiyyah, (3) taklimul kitab, dan (4)
mengajarkan hikmah (surat al Jum’ah ayat 2). Dengan demikian pendidikan dalam al Qur’an bukan sebatas
memberi seperangkat pelajaran, ataupun hanya sekedar mengajak mengkaji ayat-ayat kawniyah. Namun, agar bersifat
holistik, Pendidikan Islam disempurnakan dengan kajian ayat-ayat qawliyah, agar
semua itu sesuai dengan petunjuk al Qur’an dan Hadits Nabi.
Untuk
implementasi pandangan yang dikemukakan pada tulisan ini, tentu masih
memerlukan pengkajian lebih lanjut yang lebih detail dan operasional. Semoga
UHAMKA dengan usaha dan kerja keras berhasil menggali dan mengimplementasikan
konsep yang sangat ideal, --------
sebagaimana jargon yang selama ini dikembangkan, yaitu kembali kepada al Qur’an
dan Hadits Nabi. Wallahu a’lam.
Imam Suprayogo
0 komentar:
Posting Komentar