Sejumlah teman, yang untuk
pertimbangan etik tidak saya sebut namanya, melalui diskusi dunia maya,
mengeluhkan kenapa Timur Tengah kurang memperhatikan Indonesia. Universitas-universitas
di Negara-negara Islam di sana tak satu pun yang memiliki jurusan Asia
Tenggara, apalagi tentang Islam Indonesia. Satu-satunya tempat yang bagus untuk
mempelajari itu justru Yerussalem, Israel.
Indonesia adalah negara dengan
penduduk muslim terbesar di dunia, tapi wilayah asal usul Islam tak menoleh
untuk meminatinya. Padahal pusat-pusat ilmu dan
kebudayaan yang ‘jauh’ dari Indonesia dan Islam, misalnya Amerika Serikat,
Canada, Nederlands, Jerman, Perancis atau Inggris, justru memberikan atensi
tinggi kepada Asia Tenggara, Indonesia dan Islamnya. Anak-anak rakyat
Indonesia bahkan di tempat-tempat itu banyak menempuh S2-S3 untuk mempelajari
“dirinya sendiri”.
Teman-teman merasa betapa Timteng
agak “kurang tahu diri”, karena berbagai perguruan tinggi seperti IAIN, UIN,
dan bahkan UI, terdapat jurusan dan bahkan pusat kajian tentang banyak aspek
keagamaan, pemikiran, kebudayaan, sastra Arab atau Timteng umumnya. Hitung saja
berapa banyak skripsi, tesis, dan disertasi tentang subjek-subjek yang
berkenaan dengan Dunia Arab dan Timteng. Masyarakat, terutama kaum
cendekiawan Indonesia jauh lebih tahun tentang Timteng dibanding orang Timteng
tahu tentang Indonesia.
Ketidakseimbangan pengetahuan
itu menimbulkan hubungan yang agak kurang enak: Islam Indonesia “look up”
kepada Timteng, sementara Timteng cenderung “look down” kepada Islam
Indonesia.
Timteng tahunya Islam Indonesia
tidak dibawa oleh Ulama, tapi oleh pedagang. Itupun terlalu banyak kecampuran
klenik, kebatinan, unsur Hindu dan Budha. Tidak murni Islam. Jadi kalau ada
orang Indonesia ke Arab, setiap orang Arab harus berbaik hati dan rajin
mengamati perilaku tamu-tamunya, kemudian siap teriak “Haram! Haram!”, agar
bangsa klenik itu mulai belajar tentang ketidak-murnian Islamnya, sehingga
mereka tidak terlalu masuk neraka.
Orang Indonesia, terutama kaum
Nahdhiyin yang budaya Islamnya dekat dengan tradisi, masih agak ‘selamat’ kalau
ke Mesir, Yaman, Syria, Jordan atau terutama Sudan. Pandangan dan perilaku
keislaman mereka agak mirip. Aplikasi 4-Madzhab di manapun masih tidak terlalu
berbenturan satu sama lain, tetapi di Saudi Arabia orang Islam Indonesia
harus merunduk-runduk jangan sampai terlalu ketahuan ‘ketidak-murnian’
Islamnya. Saudi bukan satu dari 4-Madzhab, dan tak usah disebut bahwa
anti-madzhab adalah juga suatu madzhab. Saudi tempat lahirnya Rasul
Muhammad, maka Islamnya paling murni. Di luar itu kurang murni, terutama karena
bukan Saudi.
Teman-teman itu sangat gelisah,
karena pada saat yang sama: bagi kalangan Muslim Indonesia, Islam Timteng penuh
pesona; menjadi “panutan” dalam berbagai hal, tidak hanya dalam pemikiran dan
praktik keagamaan, tetapi juga dalam berperilaku, bahkan dalam cara berpakaian.
Itulah Islam yang kaffah.
Maka direkomendasikan: hubungan
Indonesia dan Timteng memerlukan pemahaman timbal balik yang lebih baik. Bukan
hanya dalam konteks keagamaan, tetapi juga kebudayaan, ekonomi, dan politik.
Ini akan membuka kemungkinan hubungan politik dan ekonomi khususnya menjadi
dapat dikembangkan lebih jauh. Hubungan Indonesia dan Timteng tidak cukup hanya
bermuatan hubungan keagamaan. Diperlukan hubungan dan kerja sama yang saling
menguntungkan kedua belah pihak, terutama ujungnya nanti di bidang
kesejahteraan.
“Kalau tidak”, kata salah
seorang teman yang berdiskusi itu, “puncak pengetahuan Timteng tentang
Indonesia sebatas TKW. Indonesia adalah TKW, manusia rendahan yang tak punya
ketrampilan dan prestasi kecuali ngepel, masak dan segala macam pekerjaan
“kasar”. Sebagian dari TKW itu disebut “Siti Rahmah”,
bisa “dipakai” dengan “khomsina (50) reyal”. Pasti di Indonesia belum ada
gedung tinggi, belum punya pesawat, kulkas dan handphone….”
Saya tidak berani tampil turut
berpendapat. Hanya berani membawa tema itu ke forum bulanan saya di Jombang,
Surabaya, Yogya, Semarang dan Jakarta, di mana ribuan orang berkumpul dari
pukul 20.00 hingga 03.00.
“Saya tidak termasuk manusia
Indonesia yang ‘nge-fans’ sama Timteng”, berkata salah seorang, “Sepengetahuan
saya sangat sedikit orang Indonesia yang beranggapan bahwa untuk mencapai Islam
kaffah harus berorientasi ke Timteng”.
Yang lain berpendapat, “Kita
dipelajari habis oleh Belanda, khasanah utama sejarah kita ada di Leiden, dan
kita mengeluh. Sekarang bangsa lain tidak mempelajari kita, kita juga mengeluh.
Apakah kelak kalau kampus-kampus Timteng menyelenggarakan studi Islam
Indonesia, sehingga mereka akan lebih mengerti kita disbanding kita sendiri,
lantas kita juga akan mengeluh”.
Lainnya lagi menyatakan, “Saya
kok bersyukur mereka tidak memperhatikan kita. Memang tak usahlah Timteng
mempelajari Indonesia, kita saja yang mempelajari Timteng. Kita pandai tentang
mereka, dan mereka bodoh tentang kita. Yang mempelajari pasti lebih unggul,
menang dan mulia dibanding yang dipelajari. Kita pelihara anggapan Timteng
bahwa Indonesia adalah TKW, sehingga duta utama kita di sana ya TKW saja”.
Emha Ainun Nadjib
0 komentar:
Posting Komentar