Tulisan ini saya bikin dengan asumsi dasar bahwa para
pembaca percaya ada Allah dengan kekuasaan-Nya. Di salah satu tayangan televisi, muncul seorang kiai dengan nasihat
sangat bijak, kurang-lebih begini: "Jangan minta kepada Ponari, Ponari itu
makhluk. Jangan minta kepada batu, batu itu makhluk. Jangan berlaku syirik
sehingga menjadi manusia musyrik. Mintalah Khaliq, Allah Swt...."
Sangat pendek tapi cespleng. Media massa sangat mengerti
kecerdasan masyarakat, sehingga cukup pendek saja. Setiap yang mendengarkan fatwa itu meneruskan sendiri dalam hati dengan
logikanya: "Jangan minta kesembuhan kepada dokter, dokter itu makhluk.
Jangan minta kepada pil dan obat-obatan, pil dan obat-obatan itu makhluk.
Jangan berlaku syirik, sehingga menjadi manusia musyrik."
Ya Allah ya Rabbi ya Karim, wahai saudara-saudaraku sebangsa
dan setanah air. Kalau Nabi Musa pegang
tongkat, bersama pasukannya dikejar tentara Firaun, mendapat perintah dari
Allah, "Pukulkan tongkatmu ke air laut!" Lantas laut terbelah,
pasukan memasuki belahannya, kemudian Firaun dan tentaranya mengejar ke belahan
itu, namun tenggelam karena air menutup kembali, mohon dengan sangat jangan
simpulkan bahwa yang dipegang Musa itu "tongkat sakti", sehingga Nabi
Musa juga "Maha Dukun" yang sakti.
Mohon dengan sangat, jangan rumuskan bahwa tongkat Nabi Musa
mampu membelah laut, mampu menerbitkan mata air dari batu kering, meskipun
insya Allah bisa bikin pecah kepala kita. Apalagi
lantas dengan metodologi ilmiah tertentu, para pakar meneliti tongkat itu
mengandung zat dan energi apa sehingga air samudra terbelah olehnya. Kalau besok paginya Anda minta kepada Nabi
Musa untuk membelah air laut lagi, percayalah air laut tak akan terbelah.
Sebab, yang membuat laut terbelah bukanlah Musa atau tongkatnya, melainkan
perintah atau perkenan Allah.
Lha Allah ini pemegang saham dan the only resources dari
seluruh "alam semesta ini dengan segala ketentuan hukum dan perilakunya”.
Hak absolut Allah untuk menyuruh orang membelah laut dengan tongkat atau dengan
meludahinya. Kalau Musa pukulkan tongkat
lagi ke laut tanpa perintah-Nya, dijamin tak terjadi apa-apa. Atau besoknya
Tuhan suruh Musa "Berteriaklah keras-keras!", lantas tiba-tiba laut
terbelah lagi ditambah gunung ambruk dan air sungai membalik arah arus airnya,
itu sepenuhnya terserah-serah Tuhan.
Makhluk, juga dokter
atau dukun, batasnya adalah mengobati atau menjadi sarana proses menuju
kesembuhan. Tapi pengambil keputusan untuk sembuh atau hak dan kuasa untuk
menyembuhkan ada pada Allah. Terserah Dia juga mau bikin sembuh orang sakit
pakai cara bagaimana dan alat apa. Bisa
tongkat, bisa batu, bisa air, bisa karena ditempeleng, bisa dengan apa pun saja
semau-mau Tuhan. Yang diperintah oleh Tuhan untuk menjadi sarana
penyembuhan terserah Dia juga. Mau kiai, pendeta, pastor, rabi, tukang sol
sepatu, Ponijo, Rasul, Nabi, Markesot, atau siapa pun dan apa pun saja. Kalau
Anda dan saya tidak setuju, Tuhan "tidak patheken" juga. Dia Maha
Pemilik Saham segala sesuatu dalam kehidupan, Dia berhak ambil keputusan apa
saja.
Kalau seorang suami pergi lama tugas ke kota yang jauh,
sehingga bawa celana dalam istrinya, mohon jangan simpulkan bahwa dia penggemar
celana dalam, kemudian Anda coba rebut celana dalam itu untuk Anda selidiki,
bahwa dia mengandung zat-zat dan bebauan apa, sehingga seorang tokoh besar
membawa-bawanya ke mana pun pergi. Kalau
pas di kamar hotel sendirian suami itu mencium-ciumi celana dalam, mohon jangan
dikonklusikan bahwa ternyata ia punya penyakit jiwa dan harus dibawa ke
psikiater. Ya Allah ya Rabbi ya Karim, yang diciumi oleh suami itu bukan celana
dalam, melainkan cintanya kepada sang istri dan komitmen kesetiaan di antara
mereka.
Wahai
saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, kalau saudara-saudaramu naik haji
dan berebut mencium Hajar Aswad, itu bukan karena mereka stone-mania atau
ngefans sama batu. Mereka sedang meneguhkan kesadaran bahwa mereka sangat butuh
Allah dalam hidupnya, maka mereka mengukuhkan cinta kepada makhluk yang paling
dicintai Allah, yakni Rasulullah Muhammad Saw. Dan karena dulu Muhammad
juga mencium batu hitam itu, padahal jelas beliau tidak punya hobi makan batu,
maka mereka menyatakan di hadapan Allah cinta mereka kepada Muhammad.
Mudah-mudahan dengan itu mereka kecipratan cinta Allah kepada Muhammad,
sehingga Allah memperlakukannya sebagai bagian dari yang paling Ia cintai.
Kabarnya Nabi Musa
ketika memimpin pasukan kejaran Firaun itu mendadak sakit perut di tengah
lari-lari. Musa mengeluh kepada Allah, dan Allah memerintahkan agar Musa naik
bukit ambil daun dari sebatang pohon untuk menyembuhkan sakit perutnya. Musa
naik dan, sebelum menyentuh daun, perutnya sudah sembuh. Tolong jangan ambil
konklusi "Itu daun mujarab banget, belum disentuh, perut udah
sembuh". Musa balik ke pasukannya, mendadak sakit perut lagi. Ia langsung
naik ke bukit, tapi sesudah makan sekian lembar daun perutnya tak sembuh-sembuh
juga. Musa protes kepada Allah. Dalam logika saya, Allah menjawab dengan penuh
kegelian: "Hei, Sa. Emang siapa yang bilang bahwa daun bisa menyembuhkan
perutmu? Meskipun daun itu mengandung unsur-unsur yang secara ilmiah memang
rasional bisa menyembuhkan perutmu, Aku bisa bikin tetap tidak menyembuhkan.
Tadi waktu sakit perut yang pertama kau mengeluh kepadaku, tapi pada yang kedua
kau tak mengeluh dan langsung saja lari kebukit ambil daun. Karena kamu salah
cara berpikirmu. Salah pandangan ilmu dan cintamu kepada segala sesuatu. Kamu
salah peradaban. Kamu pikir daun bisa menyembuhkan. Itu tergantung mau-Ku. Aku
menyembuhkanmu bisa pakai daun, air putih, batu, lewat Gaza, Tursina, Jombang,
atau mana pun semau-mau-Ku.... Berapa lama sebuah anugerah Kuberikan, itu
rahasia-Ku, bisa sesaat, sebulan, setahun, terserah Aku."
"Datanglah ke dokter, minta obat, sebagaimana ratusan
juta orang telah melakukannya. Datanglah ke kiai, bawa air putih. Atau
datanglah ke mana pun kepada siapa pun. Asalkan kau tak posisikan mereka semua
pada maqam-Ku. Engkau berlaku musyrik atau tidak, terletak tidak pada pil dan
dokternya, tongkat dan Musa, air dan kiai, atau batu dan siapa pun yang
kutitipi batu sejenak. Letak syirik
ialah pada pola pandangmu, pada cara berpikirmu. Jangan percaya kepada Ponari, Dukun,
Ponari atau Kiai, tapi hormatilah mereka, karena siapa tahu mereka adalah
hamba-hamba-Ku yang Kutitipi sarana untuk kesembuhanmu. Minumlah pil dokter dan
air batu Ponari dengan kesadaran memohon kepada-Ku...."
Tiba-tiba aku dibentak oleh sebuah suara: "Ngurusi
Ponari aja nggak becus! Mau sok-sok berlagak mengurusi NKRI!" Terperangah
aku. Terpaksa kupotong di sini tulisanku ini, sebab aslinya panjang sekali.
Kucari siapa berani-berani membentakku. Tak ada siapa-siapa. Tapi malam di
Kendari menjelang aku tidur kelelahan usai bersalaman dengan ribuan undangan
pengantin anakku, bentakan itu datang lagi: "He! Perhatikan itu para ahli
kubur dari Jombang!" Ahli kubur? Aku tak ngerti.
"Kemarin pandangan-pandangan dan anggapan-anggapan
dalam hidupmu dikubur habis oleh mutilasi-mutilasi dari tangan seorang yang
tersisih secara sosial, yang menderita secara kejiwaan, yang terasing secara
politik dan sejarah. Sekarang kalian sedang dikubur oleh sebongkah batu yang
nenek itu menyebutnya Watu Gludug, yang dititipkan beberapa waktu kepada anak
SLB yang kesepian dan menderita tatkala dipindahkan ke SD. Pelajarilah
hari-hari besok dengan meluangkan waktu memperhatikan siapa saja dari tempat
itu yang tingkat ketersisihan dan keteraniayaannya lebih dahsyat...." Mendadak
ada suara lain yang membungkam suara itu: "Husysy! Shut up!"
Emha Ainun Nadjib
0 komentar:
Posting Komentar