Bangsa
Indonesia akhir-akhir ini menyandang label yang kurang menguntungkan,
menyedihkan dan memprihatinkan. Bangsa ini sering disebut sebagai mengalami
tertinggal oleh bangsa lain, miskin, korup, kaya pengangguran, berpenghasilan
rendah, tidak disiplin dan ciri negatif lainnya. Sekalipun penyebutan itu tidak
menguntungkan bagi bangsa ini, tetapi tokh tidak ada yang membela. Semua
mengiyakan. Label itu dikemukakan di ruang publik, seperti media massa, ruang
seminar, ataupun juga pernyataan pejabat pemerintah, bahkan juga
diskusi-diskusi di perguruan tinggi. Tidak banyak orang yang membantah, mungkin
memang dianggap bahwa pernyataan itu tidak jauh dari kenyataan.
Keadaan
seperti itu, sementara orang mengait-kaitkan dengan fenomena lain, yakni bahwa
sebagian besar penduduknya beragama. Memang mayoritas penduduk bangsa ini
beragama, dan Islam adalah mayoritas. Pertanyaannya, mengapa agama, katakanlah
Islam, yang menurunkan ajaran agung, mengajak umatnya bekerja keras, bersifat
adil, jujur, terpercaya, berpandangan luas, menganjurkan suka berkorban dan
berbuat baik dan selalu mendorong umatnya untuk menghindari perbuatan jahat dan
tercela, tetapi justru umatnya mengalami keterpurukan seperti itu. Sisi-sisi
mana sesungguhnya yang salah, yang masih perlu diperbaiki dari rakyat ini.
Pertanyaannya
adalah tepatkah agama dijadikan sebagai penyebab keterpurukan, ketertinggalan
dan kelemahan-kelemahan itu. Tentu saja tidak. Sebab justru agama mengajarkan
tentang keselamatan dan bagaimana meraih kebahagiaan, baik di dunia maupun di
akherat sana. Terkait dengan keberagaan ini, ada aspek yasng perlu
diperhatikan, ialah menyangkut pengetahuan keberagamaan. Tingkat pengetahuan
agama bangsa ini sementara orang menyimpulkan rendah. Mungkin penilaian itu
dalam banyak hal benar. Sebab, salah satu ciri khas bangsa ini adalah cepat
percaya, termasuk mempercayai konsep-konsep tentang agama. Pengetahuan agama
yang seharusnya dimiliki sendiri, ternyata cukup diwakilkan pada siapa yang
dianggap memiliki otoritas, yaitu pada kyai, ulama’ atau cendekiawannya.
Keberagamaan
masyarakat bukan didasar pengetahuan, atau juga pilihan melalui proses
pengkajian panjang. Agama pada umumnya diperoleh melalui pewarisan keluarga
atau lingkungan, yang berjalan secara alamai. Oleh karena orang tuanya ke
masjid, pertanda bahwa ia sebagai orang Islam, maka anaknya juga ke masjid.
Selanjutnya sama saja, karena orang tuanya ke gereja, maka anaknya juga ke
gereja. Persoalan pemilihan agama bukan seperti memilih calon pasangan hidup,
dengan cara dilihat, dikenali dan diputuskan, melainkan sekedar melalui proses
peniruan dari apa yang dilakukan orang tua atau teman dekatnya itu. Karena itu
wajar jika pemeluk agama idak terlalu paham dengan agamanya. Kalau pun ada,
pemeluk agama yang pilihannya didasarkan pada pilihan setelah mendalami
berbagai agama, jumlahnya mungkin tidak banyak.
Kenyataan
itu memberikan pengertian bahwa sesungguhnya agama tidak ikut berpengaruh
terhadap kondisi bangsa ini. Apapun agamanya, bangsa ini akan menyandang
identitas seperti dikemukakan di muka. Pertanyaannya adalah apakah agama tidak
memiliki kekuatan motivator, dinamisator atau kekuatan penggerak manusia dan
masyarakat agar lebih dinamis. Sesungguhnya agama hadir di muka bumi ini untuk
kehidupan manusia, agar mereka beriman, beramal sholeh, dinamis, maju,
berakhlak, selamat dan bahagia. Pada sisi lain, ada pesan-pesan agama yang
mengajak umatnya berjiwa ikhlas, sabar, pasrah dan tawakkal. Bisa jadi, justru
sifat-sifat itulah yang ditangkap oleh sementara pemeluk Islam di Indonesia
melalui para elitnya. Dan hal itu tidak terlepas dari posisi elit pemegang
otoritas agama.
Elit yang pada umumnya juga
bukan termasuk pihak-pihak yang sukses, baik dari aspek ekononomi, politik,
ilmu pengetahuan dan sosial, maka lebih akan merasa aman jika membawa umatnya
ke alam kesederhanaan itu. Secara tidak sadar, para elit akan lebih merasa
teruntungkan, jika mampu menenangkan umatnya melalui logika-logika agama
sebagaimana disebutkan di muka, untuk membenarkan posisi yang diraih selama
itu, daripada justru melahirkan kekecewaan karena kegagalan meraih sesuatu,
sebagaimana yang dialami orang lain. Di sinilah agama menjadi pembenar bagi
orang-orang yang lemah.
Selain
itu, juga dapat dilihat bahwa terdapat kekuatan yang menjadikan masyarakat
-------tidak terkecuali Islam, sangat lemah. Kekuatan itu bersumber dari
pihak-pihak yang kebetulan menguasai pilar-pilar kehidupan masyarakat, seperti
birokrasi, pemilik modal, politikus, kaum borjuis, dan penguasa lainnya.
Pilar-pilar masyarakat itu sedemikian kukuhnya sehingga masyarakat tidak bisa
berkutik, dan bahkan mereka saling berkoalisi yang secara bersama-sama berperan
sebagai penindas. Para koruptor itu sesungguhnya berada pada kelompok ini.
Akan
tetapi, karena begitu kukuhnya kekuatan mereka, sebagai akibatnya sulit sekali
dipatahkan. Bahkan anehnya, mereka juga menyadari, ------sekalipun tidak mampu
menghentikan kegiatannya yang menindas itu, bahwa apa yang mereka lakukan
sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan dari kekuatan yang menyengsarakan
menyengsarakan masyaakat. Dan lebih aneh lagi, ada kegiatan yang berdalih
memberantas korupsi, tetapi justru mereka itu mengembangkan budaya berkorupsi.
Tema reformasi yang digulirkan beberapa waktu lalu sesungguhnya akan merobohkan kekuatan itu. Tetapi sekali lagi kekuatan mereka sudah sedemikian kukuh, sementara kekuatan masyarakat sedemikian lemah, sehingga reformasi mengalami kegagalan. Karena itu, isu civil sociaty atau membangun kekuatan sipil menjadi sebuah alternatif yang tepat. Hanya saja persoalannya adalah, melalui pintu-pintu mana upaya membangun kekuatan masyarakat bisa dilakukan ditengah-tengah kekuatan birokrasi, pemilik modal, politik dan lain-lain sedemikian kuat seperti sekarang ini? Rupanya, berbagai jalan masih kelihatan buntu dan isu demokrasilah yang dianggap satu-satunya pintu paling memungkinkan ?
Kualitas bangsa yang rendah
sebagaimana dikemukakan di muka, sesungguhnya tidak lepas dari struktur
masyarakat yang memberi peluang tumbuh suburnya kehidupan kelompok kecil yang
berhasil menyalurkan naluri atau bakatnya sebagai penindas ini.
Imam Suprayogoi
0 komentar:
Posting Komentar