“Perahu Retak”
aslinya adalah judul sebuah lakon teater di awal 1980-an yang berkisah tentang sejarah Nusantara pada
awal abad ke 15. Inti kandungannya
adalah kegagalan bangsa (yang pernah sangat besar) Nusantara untuk menemukan
kepribadian sosialnya sesudah punahnya kekuasaan besar Kerajaan Majapahit.
Kepribadian sosial bisa direntang ke hamparan konteks yang
lebih luas. Misalnya, ideologi sosial, suatu landasan filosofis yang menentukan
bagaimana sebuah bangsa mengambil keputusan di dalam membangun kerajaan atau
(sekarang) negara dengan segala perangkatnya, dari konstitusi, hukum, persambungan
sosial-budaya, strategi sejarah, sistem perekonomian, hingga karakter
kemanusiaan di dalam membangun atau memelihara kebudayaan, serta yang lebih
besar: peradaban.
Mungkin lebih jelas kalau cara pandangnya kita tujukan
langsung pada keadaan bangsa Indonesia
saat ini, yang kehilangan segala-galanya. Kehilangan ukuran hampir di
segala hal yang besar maupun yang kecil. Kehilangan dari kepribadian kebangsaan
yang besar, kehilangan pengetahuan tentang diri sendiri sebagai bangsa,
masyarakat maupun manusia. Kehilangan ilmu untuk mengolah sejarahnya,
kehilangan pengetahuan untuk mengelola sosialitasnya, tidak mengerti kedaulatan
rakyat, tidak memahami kepemimpinan, dan boleh dikatakan tidak apapun saja
kecuali bernafsu mengejar materi dan harta benda. Itupun salah berat konsepnya
tentang materi dan harta benda.
Embrio kemusnahan
kepribadian sosial bangsa Nusantara itu dimulai secara substansial di akhir era
Majapahit. Mulai retaknya kepribadian bangsa Nusantara itu yang disebut “perahu
retak”, di mana lakon teater ini berkisah tentang upaya “seorang pengelana”
untuk menghindarkan kemusnahan yang lebih total. Pengelana itu hadir di bumi
sebagai Syekh Jangkung (ketika itu diperankan oleh Joko Kamto, yang juga
memerankan Smarabhumi di “Tikungan Iblis” dan Ruwat Sengkolo di “Nabi
Darurat”).
Majapahit tidak hanya pernah membuat rakyatnya mencapai kesejahteraan, tapi juga kebesaran. Tak hanya kenyang, tapi juga
bermartabat. Dan pangkal pencapaian
ini terletak di tangan Mahapatih Gadjah
Mada.
Kebesaran Gadjah Mada tidak bisa diregenerasi. Tidak bisa
diulangi atau ditiru, kecuali secara parsial, dan itu sangat tidak memadai
untuk memelihara martabat sejarah. Pertanian tulang punggung perekonomian
Majapahit runtuh oleh semburan dan rambahan lumpur dari perut bumi di wilayah
Canggu. Kenyataan itu membuat Majapahit pasti akan hancur meskipun tidak ada
manusia lain di luar Majapahit.
Tanpa semburan lumpurpun kebesaran Gadjah Mada akan
meretakkan psikologi rakyat Majapahit di era-era sesudahnya, karena semakin
lama semakin mengalami degradasi oleh tiadanya tokoh sekaliber Gadjah Mada.
Memelihara apa yang pernah diperjuangkan dan kemudian dipanggul oleh Gadjah
Mada sajapun tak mampu. Raja Majapahit terakhir, Nyoo Lay Wa (lebih tepat
disebut gubernur salah satu wilayah Kerajaan Demak) dibunuh oleh rakyatnya
sendiri karena dianggap tidak mampu membangkitkan kembali kebesaran Majapahit.
Sampai beberapa era, kebesaran Gadjah Mada masih merupakan
kebanggaan bagi rakyat Majapahit. Tetapi
sesudah Majapahit benar-benar mengalami “rirno ilang kertaning bumi”, kebesaran
Gadjah Mada berubah menjadi retak. Itulah salah satu retakan terpenting
psikologi sejarah bangsa Nusantara.
Hari ini, retakan itu
sudah tidak bisa direkatkan kembali. Bangsa Indonesia bukan hanya tidak
sanggup membangkitkan dirinya menjadi sebesar yang pernah mereka capai. Bahkan
umat manusia Republik Indonesia sekarang ini tidak percaya bahwa nenek moyang
mereka pernah mencapai kebesaran sejarah di muka bumi. Anak-anak muda, bahkan
banyak kalangan kaum intelektual, terutama cara berpikir penguasa dan media massa,
malah mengejek setiap ucapan yang menyebut kebesaran kita di masa silam.
Hari ini bangsa
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah bangsa yang hidup tenteram
dengan ketenangan untuk mengejek dirinya sendiri, bahkan penuh kebanggaan
untuk menghina dan merendahkan dirinya sendiri.
Sunan Ampel dan
seluruh Dewan Wali Sembilan sepakat mempercayakan kepada Kiai Kanjeng Sunan
Kalijaga untuk berjuang merekatkan kembali retakan-retakan yang terjadi pada bangsa
Nusantara. Desain Kalijaga sangat dahsyat. Ia melakukan konsientisasi dan
persiapan kebangkitan langsung ke diri Prabu Brawijaya V sendiri beserta
keluarganya. Kemudian lapisan berikutnya: Angkatan Bersenjata Majapahit dan
para Dewan Sesepuh Kerajaan.
Kanjeng Sunan
Kalijaga dengan tandas dan efektif serta dalam waktu yang relatif singkat
mengeksekusi transformasi Kerajaan Majapahit menuju Kesultanan Demak.
Melakukan reformulasi kenegaraan
dari Kerajaan Kesatuan ke Persemakmuran Perdikan-Perdikan. Dengan langsung
menyebar kader-kader utamanya, yakni sebagian besar dari 117 putra Prabu
Brawijaya V untuk menjadi kepala-kepala tanah perdikan di seantero Nusantara.
Sebagai contoh, Harya Dewa Ketuk dijadikan kepala tanah
perdikan di Bali, Harya Lembu Peteng di Madura, Harya Kuwik di Kalimantan,
Retna Bintara di Nusabarong, Jaka Prabangkara di Dataran Negeri Cina, serta
berpuluh-puluh lain di berbagai “negara bagian” dan rata-rata menjadi legenda
di tempat masing-masing; Syekh Belabelu, Betoro Katong, Ki Ageng Mangir, dan lainnya.
Puncak dari semua adalah putra Brawijaya V ke-13 Raden Jaka Praba atau Raden
Patah diangkat oleh Kanjeng Sunan Kalijaga menjadi penerus bapaknya dalam
transformasi di Kasultanan Demak Bintoro.
Akan tetapi itu semua
justru menunjukkan jenis retakan lain pada kejiwaan bangsa Nusantara.
Kanjeng Sunan Kalijaga tidak pernah menyangka hal itu. Padahal beliau
dianugerahi hidup dengan usia sangat panjang, melalui empat zaman di mana
beliau berperan langsung sebagai pemangku sejarah.
Bangsa Nusantara
tidak sanggup menanggung sekaligus empat tantangan di dalam jiwa dan alam
berpikirnya. Tantangan pertama, trauma kebesaran Gadjah Mada. Kedua, tantangan yang berupa datangnya bangsa Portugis yang membayang-bayangi
kedaulatan mereka, yang berkeliaran di lautan-lautan Nusantara tanpa mereka
memiliki kepemimpinan, kesatuan dan peralatan sebagai di masa lalu tatkala
Gadjah Mada memimpin.
Ketiga, datangnya alam pikiran baru,
spiritualitas bumi langit baru yang berupa
agama Islam. Keempat, ketidaksiapan mereka untuk mandiri dan otonom,
untuk hidup dalam semacam persemakmuran kemandirian, dan bukan hidup menjadi
satu kesatuan tidak di bawah raja besar sebagaimana di zaman kejayaan
Majapahit.
Sirnanya kebesaran Majapahit membuat rakyatnya uring-uringan
sendiri dan bertengkar sehingga bermunculan faksi-faksi sosial atau
pengelompokan-pengelompokan yang bermacam-macam dengan tujuan untuk
menyelamatkan dirinya masing-masing.
Datangnya kekuatan
dari Eropa juga bukan mempersatukan mereka, melainkan menambah
koloni-koloni untuk menyelamatkan diri masing-masing berdasarkan satuan-satuan
sosial seketemunya saat itu. “Kelemahan” sejarah mereka antara lain adalah
karena jenis ekspansi kolonialisme yang
dilakukan oleh Gadjah Mada bukan murni imperialisme dan penjajahan kekuasaan,
melainkan bersemangat pemersatuan dengan watak memangku semua wilayah yang
dipersatukan. Sebab memang demikian filosofi dasar bangsa Jawa sejak ribuan
tahun sebelumnya. “Seharusnya” mereka lebih kejam, sehingga terlatih juga untuk
mempertahankan diri terhadap kekejaman yang datang.
Datangnya Islam juga menimbulkan pemecahan sosial dalam
satuan yang berbeda. Kekuatan dan kebijaksanaan yang diselenggarakan oleh
Kanjeng Sunan Kalijaga sangat mencukupi muatan nilai-nilainya untuk mempersiapkan
bangsa Nusantara menjalankan transformasi, tetapi yang tak bisa ditaklukkan
oleh Kalijaga adalah hakekat waktu. Bahwa bangsa Nusantara memerlukan waktu
yang panjang untuk menjadi kaum muslimin yang matang dan berpengalaman
mengantisipasi tantangan-tantangan.
Pada saat yang sama, Raden Patah memimpin mereka tidak dengan
metoda dan kekuatan seperti bapak dan kakek-kakeknya, karena beliau adalah
salah satu murid utama Sunan Kalijaga yang mendidiknya berfikir secara
“rahmatan lil alamin”. Raden Patah menawarkan rintisan demokrasi, otonomi
daerah, peralihan cara berpikir dari “kawulo” ke “khalifatullah”, persemakmuran
yang saling berangkai, dan seterusnya. Dan ‘mantan’ rakyat Majapahit tidak
siap.
Empat retakan atau berbagai ketidaksiapan itu melahirkan beragam-ragam
perpecahan dan konflik. Ada konflik atas dasar hak kekuasaan. Itu berlangsung
di kalangan keluarga kerajaan yang cabang-cabang pohon nasabnya sudah sangat
besar dan lebar.
Ada konflik karena kepentingan tanah dan harta benda, yang
membuat berbagai wilayah bekas Majapahit memisahkan diri: semangatnya bukan
kemandirian dalam persemakmuran bersama, melainkan egosentrisme kekuasaan di
lokal-lokal.
Ada juga yang sangat parah adalah konflik di wilayah tafsir
agama. Antara yang menolak Islam dengan yang menerima Islam. Antara yang
menerima Islam sebagai suatu entitas menyeluruh dengan yang mengambil Islam
untuk disinkretisasikan dengan ajaran-ajaran sebelumnya. Antara yang puritan
menerima Islam tanpa kearifan budaya dengan yang merancukan Islam dengan
tradisi budaya. Antara individu atau kelompok masyarakat yang kadar
penerimaannya terhadap Islam berbeda-beda, bertingkat-tingkat.
Berbagai-bagai tema perpecahan merebak ke segala penjuru,
menciptakan polaritas-polaritas baru yang bersaling-silang. Kiai Kanjeng Sunan
Kalijaga merupakan semacam “padatan Muhammad kecil” bekerja dan berjuang sangat
keras dalam skema sosial yang penuh retakan-retakan semacam itu.
Meskipun beliau merambah ke delapan penjuru angin, memasuki
bilik-bilik keraton hingga mengurusi kaum tani di pelosok dan para gelandangan,
“hanya” berhasil menanam infrastruktur nilai-nilai sejarah baru yang sangat
Islami dan dahsyat, namun memerlukan kontinuasi dan akselerasi perjuangan pada
para pelaku di zaman berikutnya.
Perjuangan Sunan Kalijaga itu bahkan “terganggu” sangat
serius oleh keras dan meluasnya konflik-konflik pada masyarakat Nusantara yang
semakin kehilangan kepribadian sosialnya. Beliau mengawal berdirinya Kesultanan
Demak sampai beberapa sultan, dengan keadaan di mana kepemimpinan Demak belum
cukup matang untuk mensosialisasikan nilai-nilai Islam Kalijagan, dan pada saat
yang sama rakyat Demak juga kurang terdidik untuk menjadi pelaku yang sadar dan
aktif dari reformulasi Kalijagan.
Kiai Kanjeng Sunan juga kemudian mengawal Kesultanan Pajang
yang semakin mengalami degradasi nilai-nilai. Dan ketika kemudian Mas Karebet,
Sultan Hadiwijaya, raja terakhir Pajang, menyerahkan kontinuasi kepemimpinannya
kepada anak angkatnya, Sutawijaya, dengan mendirikan Kerajaan (bukan Kesultanan)
Mataram, maka saat itulah lahir Indonesia….
Syekh Jangkung (nama aslinya Saridin, sarinya ad-din), pengelana
yang dikisahkan dalam “perahu retak” adalah cucu murid Kanjeng Sunan Kalijaga
melalui Sunan Kudus muridnya.
Ia memohon diperkenankan mengakselerasi perjuangan Sunan
Kalijaga yang saat itu sudah sangat sepuh. Syekh Jangkung mencoba melakukan
recovery dan rekonstruksi kepribadian Islam Nusantara melalui Raden Mas Kalong
(kalong: pengelana), putra sulung Pangeran Benowo, seorang yang seharusnya memegang
kuasa untuk mengembalikan etos Demak di ujung Pajang.
Pangeran Benowo pergi menyingkir dari kesultanan karena
tidak tahan hati menyaksikan multi-konflik yang terus berlangsung dan makin
parah. Sehingga kekuasaan kemudian dipegang oleh tokoh yang tidak berada pada
garis nasab Majapahit (dan sempalan inilah yang kemudian menjadi Keraton
Pakubuwanan dan Hamengkubuwanan yang masih ada sampai hari ini).
Syekh Jangkung mengajak Kalong berkeliling membangun
masyarakat Nusantara baru, berusaha menyelesaikan berbagai konflik dengan
metoda sebagaimana yang diajarkan secara sangat mendalam namun bijak oleh Kiai
Kanjeng Sunan Kalijaga. Jangkung dan Kalong berusaha “memaiyahkan” masyarakat
Nusantara. Namun jatah waktu kehidupan beliau tidak mencukupi, sebagaimana Sunan
Kalijaga sendiri “seharusnya” berusia tiga kali lipat dari 126 tahun.
Mataram adalah
Indonesia kecil yang “meresmikan” retakan-retakan mental dan cara berpikir bangsa
Nusantara. Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah Mataram besar yang
memuncaki keretakan itu, sampai pada tahap bagaikan tiada lagi Nusantara ini,
dari berbagai sudut pandang, cara pandang maupun jarak pandang. Hari ini
dan seterusnya, Anda semua adalah Jangkung-Jangkung, Kalong-Kalong yang sedang
ditantang oleh sejarah.
Emha Ainun Nadjib
0 komentar:
Posting Komentar