Indonesia adalah bangsa besar.
Tanda kebesarannya antara lain adalah lapang jiwanya, sangat suka mengalah,
tidak lapar kemenangan dan keunggulan atas bangsa lain, serta tidak tega
melihat masyarakat lain kalah tingkat kegembiraannya dibanding dirinya.
Dari lingkaran katulistiwa,
Indonesia memiliki 12,5%, dan itu lebih dari cukup untuk menguasai akses
angkasa, satelit dan wilayah otoritas politik maupun perekonomian informasi dan
komunikasi. Kita adalah a Big Boss industri teknologi informasi
sedunia. Tapi kita sangat rendah hati dan mengalah. Kita tidak tega kepada
“Negara Kecamatan” yang bernama Singapura, sehingga kekayaan kita itu kita
shadaqahkan kepada tetangga kecil itu.
Keluasan territorial dan
kesuburan bumi maupun lautan, kekayaan perut bumi, tambang-tambang karun,
keunggulan bakat manusia-manusia Indonesia, pelajar-pelajar kelas Olimpiade,
kenekadan hidup tanpa managemen, ideologi bonek, jumlah penduduk, kegilaan
genetic dan antropologisnya, dan berbagai macam kekayaan lain yang dimiliki
oleh “penggalan sorga” yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia —
sungguh-sungguh merupakan potensialitas yang tak tertandingi oleh Negara dan
bangsa manapun di muka bumi.
Tetapi, sekali lagi, kita adalah
bangsa yang lembut hati dan jauh dari watak Raja Tega. Kekayaan-kekayaan itu
kita persilahkan dikenduri oleh industri multinasional dan orang-orang serakah:
emas rojo brono diangkuti tiap hari ke mancanegara. Dan itu bukan
kekalahan, itu adalah kebesaran jiwa. Kita bangsa yang kaya raya karena amat
sangat disayang Tuhan, sehingga kita pesta shadaqah dan infaq. Rakyat
kebanyakan ikhlas menderita karena memilih sorga, dan toleran kepada sejumlah
minoritas yang memang memilih neraka. Itu terkadang rakyat ikut rakus
sedikit-sedikit, dengan pertimbangan tak enak atau pekewuh kalau kita dari
dunia langsung masuk sorga tanpa menengok saudara-saudara kita yang di neraka.
Tak baik-lah itu. Apa salahnya kita mampir juga beberapa saat di neraka,
ngerumpi dengan handai tolan di sana .
Pada suatu hari TVRI, RRI, TNI,
Polri dan berbagai mesin rumah tangga negara kita sewakan atau jual kepada
tetangga. Berikutnya kita bercita-cita tak usah repot-repot menghabiskan
ratusan milyar untuk pemilihan Presiden. Kita bisa mengontrak tokoh managemen
dunia untuk memimpin negeri kita. Juga Menteri-menteri kita kontrak dari luar
negeri, sebagaimana para pemain sepakbola. Dan puncaknya kelak, MPR bisa
mengambil keputusan untuk bikin proposal memohon kepada Kerajaan Belanda agar
berkenan memimpin kita lagi.
Bangsa kita adalah bangsa filosof.
Kalau Presiden kita kontrakan dan Belanda atau terserah negeri maju manapun
kita persilahkan memimpin, itu tidak berarti kita berada di bawah mereka. Dalam
teori demokrasi, rakyat selalu tertinggi, Presiden dan Kabinet hanya orang yang
kita upah dan harus taat kepada kita. Jadi sesungguhnya bangsa Indonesia tetap
di atas. Sebagaimana seorang Imam shalat diangkat oleh makmumnya, Imam pada
hakekatnya harus taat kepada makmum. Yang memilih ditaati oleh yang dipilih.
Apalagi yang dipilih itu digaji. Makmum yang memilih Imam, tidak ada Imam
memilih makmum.
Sejak 200 tahun yang lalu
kekuatan bangsa Indonesia membuat dunia miris. Maka perlahan-perlahan,
terdisain atau tak sengaja, terdapat semacam perjanjian tak tertulis di
kalangan kepemimpinan dunia di berbagai bidang: Jangan sampai Indonesia menjadi
bangsa yang besar, jangan sampai Negara Indonesia menjadi Negara yang maju.
Sebab potensi alam dan manusia tak bisa dilawan oleh siapapun. Kalau diberi
peluang, masyarakat Setan dan Iblispun kalah unggul dibanding ummat manusia
Indonesia. Sedangkan orang Indonesia hidup iseng dan
sambilan saja dalam melakukan apapun: setan-setan sudah semakin terpinggirkan
dan kehilangan pekerjaan.
Dan kitapun sangat supportif kepada
kehendak dunia untuk mengkerdilkan bangsa kita. Kita membantu sepenuh hati
upaya-upaya untuk mengerkerdilkan diri kita sendiri. Sehari-hari, dalam
pergaulan maupun dalam urusan-urusan konstelatif stuktural, kita sangat
rajin menghancurkan siapapun saja yang menunjukkan perilaku menuju kemungkinan
mencapai kebesaran dan kemajuan bangsa Indonesia. Setiap orang unggul tak kita
akui keunggulannya. Setiap orang hebat kita cari buruknya. Setiap orang
berbakat kita kipasi agar bekerja di luar negeri. Setiap orang baik takkan
pernah kita percaya. Setiap orang tulus kita siksa dengan kecurigaan. Setiap
orang ikhlas kita bantai dengan fitnah. Setiap akan muncul pemimpin sejati
harus sesegera mungkin kita bikin ranjau untuk menjebak dan menghancurkannya.
Kita benar-benar sudah hampir
lulus menjadi bangsa yang besar. Dan puncak kebesaran kita adalah kesediaan
kita untuk menjadi kerdil.
0 komentar:
Posting Komentar