Tatkala acara di
halaman Gereja Pugeran Yogyakarta itu akan saya akhiri pas tengah malam, pekan
kedua Agustus, tiba-tiba gempa terasa. Panggung bergoyang. Semua hadirin di
depan panggung mendadak berdiri dengan wajah cemas.
Tak terlalu keras sebagaimana gempa Yogya 27 Mei 2006, tetapi
dua kali lebih lama. Orang menoleh ke sana ke mari dan saling mengonfirmasi
satu sama lain bahwa ada gempa, tapi tidak mengerti akan berbuat apa. Di
panggung bagian belakang, saya lihat teman-teman Kiai Kanjeng juga menunjukkan
wajah cemas, bahkan panik.
Sial, saya tidak
merasakan gempa itu, mungkin karena saya pas berposisi berdiri dan pikiran saya
sibuk dengan berbagai hal dalam kelangsungan acara itu. Campur aduk umat
Katolik se-DIY dan kaum muslimin di depan saya. Empat jam penuh suasana
penuh tawa, akrab, dan sorak-sorai kerukunan dihentikan oleh ketegangan gempa. Spontan saya mohon izin kepada semua pihak
bahwa dalam suasana darurat kami umat Islam membaca Ayat Kursi.
Langsung saya teriak
membacakannya, diikuti semua teman Kiai Kanjeng dan para hadirin yang muslim.
Pada kata ”walaya’udhuhu hifzhuhuma” (tak ada yang bisa mengganggu penjagaan
Allah atas langit dan bumi), kami ulang sembilan kali. Spontan juga kami
mengangkat tangan tinggi-tinggi dan tak terasa hampir semua hadirin mengangkat
tangan pula.
Bergemuruh bunyi Ayat
Kursi, singgasana Allah, di halaman gereja Yogya selatan itu. Semua khusyuk
mengangkat rasa ngeri dan menadahkan tangan permohonan perlindungan kepada
Tuhan yang satu, yang satu-satunya, Tuhan yang mana lagi selain yang Itu.
Seusai Ayat Kursi, gempa sudah tak terasa, tapi setiap orang cemas membayangkan
keluarga mereka di rumah masing-masing.
Ada yang menelepon, mengirim SMS atau menundukkan muka saja
dalam kemuraman dan rasa cemas. Acara
kami akhiri dengan tingkat kekhusyukan yang ideal. Kiai Kanjeng memberi nomor
musik terakhir Hubbu Ahmadin yang berirama orkestratif gerejawi seolah-olah
bunyi-bunyian dari Eropa Selatan.
Andaikan gempa itu
mengguncang benar dan sekian hadirin terluka, kejatuhan tembok atau terperosok
ke dalam patahan tanah, saya pastikan yang lain akan menolong siapa pun saja
yang berada dalam jangkauan pertolongannya tanpa menanyakan terlebih dahulu
apakah yang akan ditolong itu beragama Islam atau Katolik. Andaikan petugas
PPPK gereja mengambil obat-obatan dipastikan juga ia tidak lantas mengutamakan
mengobati korban yang kristiani dulu.
Siapa pun saja yang
terluka di dekatmu, engkau obati, meskipun ia memusuhimu. Siapa pun yang lapar
di dekatmu engkau beri makan tanpa berpikir apakah identitas agama dan
kebangsaan atau sukunya berbeda denganmu. Siapa pun saja yang kehausan di
sekitarmu engkau sodori minuman tanpa syarat apa pun juga. Siapa pun saja yang
hatinya kesepian di sisimu engkau menyapanya tanpa reserve, bahkan tanpa
mewajibkan orang yang engkau sapa itu akan berterima kasih atau tidak kepadamu.
Sebelum empat jamber nyanyi dan berdialog, kami semua bertanya jawab.
Apakah kalau Pak Kiai
motornya mogok, Pak Pastur boleh memboncengkan dan mengantarkannya ke masjid?
Para hadiri menjawab: boleeeeh! Demikian juga sebaliknya kalau Pak Pastur
kehujanan basah kuyup, apakah Pak Kiai boleh meminjamkan bajunya untuk dipakai
misa oleh Pak Pastur? Boleeeeh! Apakah genset dan sound system yang dipakai
dalam acara ini harus milik sesama orang Katolik dan dilarang memakai penyewaan
pengeras suara yang dimiliki oleh orang Islam? Tidaaaak!
Apakah kalau pulang dari acara ini kita naik angkot, yang
muslim mencari angkot yang sopirnya muslim dan yang Kristen mencari angkot yang
sopirnya Kristen? Tidaaaak! Apakah anggota kesebelasan sepak bola harus satu
agama? Tidaaaaak! Bolehkah orang Katolik berurusan saham dengan tetangganya
yang beragama Islam untuk buka warung angkringan bersama? Boleeeeeh! Bolehkah orang
berlainan agama bekerja sama dalam ekonomi? Boleeeeeh!
Kerja sama kebudayaan? Boleeeeeh! Kesenian? Boleeeeeh!
Apakah pemain biola beragama Islam harus menggesek biola Islami? Orang tertawa.
Apakah kalau di gardu sebelah anak-anak muda Islam ngerumpi lantas terdengar
bunyi orang bernyanyi di gereja, mereka boleh merespons dengan ketukan-ketukan
kecil di kayu gardu? Boleeeeh! Apakah pemain gitar beragama Katolik boleh
mengiringi pemuda Islam menyanyikan lagu kasidah? Boleeeeh!
Apakah parpol tertentu harus beranggotakan umat agama
tertentu dan parpol lain harus beranggotakan umat agama lain? Tidaaaak!
Bolehkah grup musik muslim meminjam lagu yang biasa dipakai di gereja untuk
menyanyikan syair-syair Islam? Boleeeeh! Sebaliknya? Boleeeeh! Kok, semua boleh,
yang tidak boleh apa dong? Saling bertukar istri. Yessss! Apa lagi? Yang muslim
melanggar akidah dan syariatnya dan yang kristiani melanggar pagar teologinya.
***
Diperlukan ratusan halaman jika saya tuturkan dialog-dialog
semacam itu dalam acara di mana semua umat beragama hadir bersama. Sesudah di
Gereja Pugeran itu, Kiai Kanjeng beberapa hari kemudian mengadakan pengajian di
desa Katolik di Yogya utara yang penduduk muslimnya hanya tiga keluarga.
Kemudian di Pasuruan, di sebuah pesantren yang
universitasnya juga plural mahasiswanya, kami sepanggung dengan Pak Kiai dan
romo-romo, juga tokoh-tokoh agama lain. Demikian juga yang Kiai Kanjeng alami
di gereja-gereja Katolik di Helsinki, di Melbourne, di Vatikan, Teramo, dan
lainnya sebelum ini. Teman-teman di Belanda juga sedang merancang untuk
menghadirkan Kiai Kanjeng keliling sejumlah titik di Belanda, untuk ikut
menyembuhkan luka yang tergores oleh kasus Theo van Gogh, Hersyi Ali, beberapa
tahun silam.
Emha Ainun Nadjib
0 komentar:
Posting Komentar