Bangsa Ini Membutuhkan Contoh Kerukunan



Himbauan, perintah, instruksi, khutbah, dan lain-lain tentang betapa pentingnya kerukunan adalah penting sekali untuk disampaikan kepada masyarakat. Akan tetapi yang lebih  dari itu semua adalah contoh atau tauladan secara nyata.  Contoh dimaksud mesti datang dari para pemimpinnya, baik pemimpin formal maupun  pemimpin non formal. Contoh itulah di negeri ini, yang  rupanya pada  akhir-akhir ini semakin sulit dilihat atau bahkan sekedar didengar.

Sehari-hari lewat media massa, baik cetak maupun elektronik atau jejaring sosial lainnya,  dengan mudah kita dapatkan kabar atau informasi tentang konflik yang terjadi di kalangan para pemimpin bangsa ini.  Berbagai persoalan bangsa diselesaikan secara terbuka lewat konflik, perseteruan, saling curiga, tuduh menuduh, saling menjatuhkan antar sesama dan lain-lain. Bahkan di antara mereka lewat caranya sendiri, menghina sesama dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Mereka berdalih bahwa di zaman demokrasi yang terbuka, semua itu dianggap sebagai hal yang wajar dan syah-syah saja.

Orang tua pada zaman dahulu, sekalipun tidak berpendidikan tinggi, mungkin sekedar mengenyam pendidikan pesantren, tetapi ternyata memiliki kearifan yang tinggi. Mereka menganggap bahwa dalam kehidupan sosial selalu membutuhkan contoh atau tauladan. Tidak boleh dalam keluarga dan apalagi komunitas yang lebih luas tanpa  memiliki orang-orang yang bisa  dijadikan contoh atau tauladan.  Orang-orang yang dipandang sebagai contoh itu sebisa-bisa, dalam hal apapun,  tidak memiliki banyak kekurangan atau kesalahan, baik  dalam ucapan maupun  tindakan.

Oleh karena itu,  agar kesalahan orang yang seharusnya dijadikan contoh itu tidak diketahui oleh  anak-anak atau siapapun yang seharusnya tidak boleh  pengetahui, maka dalam melakukan pembicaraan penting, selalu menunggu hingga orang lain tidak mengetahuinya. Para orang tua dalam membicarakan hal penting tersebut menunggu hingga benar-benar tidak ada orang lain yang akan tahu. Orang pedesaan Jawa menyebutnya nunggu sepining  gegodongan runtuh. Artinya, saat pembicaraan penting yang dianggap berkemungkinan akan melahirkan ekses negatif  dilakukan setelah  benar-benar  tidak ada lagi orang lain yang mendengarkan.

Hal itu bertolak belakang dengan keadaan sekarang. Penyelesaian problem, baik yang berat dan apalagi yang ringan,  justru diselesaikan secara terbuka, dan bahkan disiarkan langsung melalui media massa.  Orang yang berselisih dipertontonkan di muka umum, tidak terkecuali perselisihan di antara  para pemimpin  bangsa yang seharusnya dijaga kehormatannya. Lebih dari itu, lewat  berbagai jenis acara,  orang-orang tertentu  dikritik dan bahkan dilecehkan secara terbuka, dan bahkan dijadikan sebagai tontonan umum. Rakyat  pada sekarang ini menjadi tahu dengan jelas, siapa musuh siapa, pejabat apa berkonflik dan bermusuhan dengan siapa, dan seterusnya.  

Dengan demikian, disadari atau tidak,  sebenarnya rakyat pada saat ini telah mendapatkan contoh-contoh konflik, permusuhan, saling menghujat dan menjatuhkan dari para pimpinannya sendiri. Dalam keadaan seperti itu, rasanya memang agak sulit menjadikan bangsa ini benar-benar bisa hidup damai, tenteram, saling menghargai, menghormati dan memuliakan. Masing-masing saling membidik dan menjatuhkan.  Jika dirasakan secara saksama,  pada bangsa ini telah terjadi  saling berebut, yaitu berebut harta, tahta dan kekayaan. Manakala ada kegiatan  membantu orang lain, ternyata hanya berswifat seolah-olah, agar kepentingannya dapat diraih.  Pemberian bantuan itu diharapkan kelak mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Keikhlasan  menjadi sangat  mahal dan sulit ditemukan.

Gejala lain yang tidak kurang memprihatinkan adalah nafsu untuk meninggalkan yang lain. Betapa jelasnya bahwa bangsa ini adalah majemuk, plural, atau  berbeda-beda dari sudut etnis, bahasa daerah, adat istiadat, agama dan bahkan juga aliran yang diikuti. Mestinya perbedaan itu tidak boleh dijadikan alasan untuk meninggalkan yang lain. Para pemimpin harus memberi contoh untuk mengajak serta semua elemen yang ada. Manakala ada seleksi, maka ukurannya adalah keluwasan wawasan, ilmu, profesionalisme, integritas, dan bukan atas pertimbangan asal usul kesamaan organisasi, aliran dan semacamnya. Sikap dan kebijakan meninggalkan seperti itu harus segera ditinggalkan. Para pemimpin harus mampu merangkum untuk menunjukkan betapa pentingnya kebersamaan dan kerukunan itu.

Sepanjang hari misalnya seorang pejabat atau pimpinan selalu berbicara kerukunan, pentingnya kerukunan, mulianya upaya membangun silaturrahiem dan juga saling melibatkan, namun tatkala pada kenyataannya para pemimpin justru bersikap dan mengambil kebijakan sebaliknya, maka rakyat tidak akan percaya. Kata kerukunan menjadi tidak akan memberi makna apa-apa. Sebab rakyat tidak saja mempercayai apa yang diceramahkan, ditulis dan  dijadikan bahan pidato, tetapi  lebih penting dari itu adalah ingin melihat apa yang dilakukan oleh para pemimpinnya. Pada saat sekarang ini, rakyat sedang membutuhkan contoh nyata tentang kerukunan itu dari para pemimpinnya.

Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar