Lelaki pertama yang meniduriku adalah
suamiku sendiri dan lelaki yang mencampakkan ke lelaki kedua adalah suamiku
sendiri dan untuk perempuan yang begini busuk dan hampir tak mampu lagi melihat
hal-hal yang baik dalam hidup ini maka lelaki kedua hanyalah saluran menuju
lelaki ketiga, keempat, kesepuluh, keempat puluh, keseratus, ketujuh ratus….
Kututup pintu kamarku keras-keras, kukunci
dan, “Pergi kau lelaki! Cuci mulut dan tubuhmu baik-baik sebab istrimu di rumah
cukup dungu untuk kau kelabui.”
Bayangkan lelaki itu masih bisa berkata,
“Kau jangan murung dan menderita, Yesus dulu disalib untuk sesuatu yang lebih
bernilai bagi umat manusia….”
“Aku tak punya Yesus! Aku pintar ngaji!”
aku memotong.
Ia tersenyum , dan memandangku mirip
dengan mripat burung hantu. “Kau putus asa Nia….”
“Aku memang putus asa. Bukan kau. Jadi
pergilah!”
“Kau bukan perempuan yang tepat untuk
berputus asa. Percayalah bahwa kehidupan ini sangat kaya. Dan aku ini
laki-laki. Laki-laki sejati hanya mengucapkan kata-kata yang memang pantas dan
ia yakini untuk diucapkan. Keinginanku untuk mengambilmu dari neraka ini dan
mengawinimu….”
“Cukup Ron! Jangan ucapkan apa-apa dan
pergi!”
“Nia!…..”
Kudorong ia keluar. Pintu kututup.
Jangan ganggu. Kini aku mau tidur. Sama
sekali tidur. Jangan ada mimpi dan jangan ada apapun juga. Semua buruk dan
durhaka.
Kuhempaskan tubuhku yang gembur, tenagaku
yang terbengkalai dan jiwaku yang arang ke ranjang.
Tengah malam sudah lewat. Kulemparkan handuk
kecil basah ke kamar mandi mini di pojok. Di luar, musik sudah surut. Tinggal
geremang suara lelaki, sesekali teriakan mabuk. Tapi Simon lulusan
Nusakambangan itu pasti bisa membereskan segala kemungkinan.
Kupasrahkan segala kesendirianku di kasur.
Tubuhku tergolek dan semuanya lemas. Kuhembuskan nafas panjang. Tak cukup
panjang. Dadaku selalu sesak. Sahabatku dinding, atap, almari, kalender porno,
handuk-handuk—sebenarnya ini semua kehidupan macam apa? Seorang perempuan, dari
hari ke hari, harus mengangkang…..
Kumatikan lampu, “Sudahlah! Aku mau tidur.
Sebenar-benarnya tidur.” Tuhan, kenapa jarang ada tidur yang tanpa bangun
kembali? Alangkah gampangnya ini bagiku. Namun baiklah. Asal sekarang ini
jangan ada yang menggangguku. Kalau ada yang mengetuk pintu, akan kuteriaki.
Kalau ia mengetuk lagi, teriakanku akan lebih keras. Kalau ia ulang lagi, akan
kubuka pintu sedikit dan kuludahi mukanya. Dan kalau ia masih mencoba merayu
juga, akan kubunuh.
Datanglah besok, pada jam kerja, semaumu.
Nikmati tubuh dan senyumanku, kapan saja kau bernafsu. Tapi jangan ganggu saat
sendiriku. Sebab tak bisa lagi aku tersenyum. Aku tak boleh tersenyum untuk
diriku sendiri. Aku bisa kehabisan, sebab ratusan bahkan ribuan lelaki sudah
menunggu untuk membeli dan karena itu mereka merasa berhak sepenuhnya untuk
memiliki keramahanku
Padahal aku sesungguhnya tak punya
keramahan lagi. Coba, siapa yang lebih bijak dari pelacur? Tersenyum terus
menerus kepada setiap lelaki, meladeninya seperti seorang permaisuri yang
terbaik atau setidaknya seorang istri teladan, melakukan segala kemauannya
tanpa boleh menolaknya kecuali aku kehilangan kemungkinan di hari-hari
berikutnnya. Aku harus ramah, supel, senyum, dalam keadaan apapun. Jadi
hitunglah berapa kekuatan jiwa yang kubutuhkan untuk melakukan itu tanpa ada
hentinya. Sedang Pak Kyai di desaku sudah sukar tersenyum. Meladeni sekian
ratus atau sekian ribu orang tiap hari, dan ia menjadi patung yang mengulurkan
tangannya. Tetapi ia dipercaya seperti Tuhan, dan aku, hanya tergantung pada
dagingku.
Ah, kenapa mengeluh! Pelacur yang baik tak
pernah mengeluh. Sekarang, “Tidur, tidur…”
Apa lagi? Aku sudah hampir menyelesaikan
salah satu kesempurnaan hidupku di muka bumi ini. Kini aku telah sampai pada
lelaki ke-993. Bukan rekor yang cukup hebat, tapi ini ambang pintu kesempurnaan
tersendiri bagiku. Tiga belas bulan sudah aku menekuni karierku ini, dengan
berusaha sebaik-baiknya memenuhi segala aturan dan sopan santunnya. Terhadap
hampir semua lelaki, moral dan solidaritasku tinggi. Karena itu, sebagai
primadona salah satu wisma “Pasar Daging” ini, rata-rata aku menerima 8 lelaki.
Dalam sebulan, kira-kira libur seminggu. Dan selama ini aku ambil cuti hampir
dua bulan. Cobalah hitung sendiri. Rekorku pasi lebih tinggi kalau saja tidak
cukup banyak lelaki yang mengulangi hasratnya atasku beberapa kali…..
Dan besok, kukira aku akan berpesta
diam-diam dalam diriku, buat lelakiku yang keseribu. Tak tahu bagaimana, ini
semua tidak ada yang baik bagiku, tetapi ada hal yang menarik. Apa yang bisa
menghiburku di dunia ini? Delapan lelaki setiap hari adalah hiburan yang
berlebihan sehingga kehilangan daya hiburnya dan berubah menjadi kebosanan,
kejenuhan dan rasa perih lahir batin. Minum? Sudah tak terhitung lagi, jiwaku
sudah kebal. Nonton? Tamasya? Main kartu? Semua sudah hampa. Jangan pula sebut
tentang kata-kata manis dari mulut lelaki!
Aku sudah mengecap segala yang manis dari
laki-laki. Tetapi manis hanyalah manis dan kenyataan hidup adalah bau yang lain
lagi. Suamiku dulu kurang apa? Anak muda yang manis, pengusaha swasta yang
berhasil, caranya berjalan seperti pendekar dan mulutnya seperti pujangga.
Segala mimpi dan bayangan tentang hari depan ada dalam genggamannya. Namun
alasan terkuat sehingga aku menjadi istrinya adalah karena aku mencintainya, tanpa
aku pernah mencintai lelaki manapun sebelumnya. Apa yang kurang? Orang tuaku
melarang kehendakku karena mempertimbangkan latar belakang lelakiku: perbedaan
agama, lingkungan pergaulannya, serta kata Ibu, “Cahaya matanya.”
Akan tetapi kata orang, “Ini zaman
perubahan, anak dan orang tua tak akan bisa dipertemukan. Maka akhirnya
kutempuh riwayat paling buruk dengan orang tuaku. Kami lari. Aku berbahagia
sebentar, sampai akhirnya perlahan-lahan tiba saat kehidupan ini menujukkan
kuku-kukunya yang asli. Suamiku nafasnya pendek. Keramahannya terhadapku
singkat umurnya dan makin surut. Dan, sederhana saja, belakangan kuyakini bahwa
ia mulai bermain perempuan lagi, dan ia nampak bergembira karena itu.
Teranglah sudah. Tak bisa kukuasai lukaku,
tak bisa kurumuskan semua itu dengan pikiranku, dan untuk kembali ke orang tua
aku amat sangat merasa dosa dan malu. Dan, untuk terperosok ke karierku yang
baru ini, adalah kejadian yang sepele orang beli rokok, meskipun untuk itu aku
kemudian hijrah ke kota yang jauh dari daerah kelahiranku. Soal surat-menyurat
resmi? Sangat gampang dibereskan. Dan orang tuaku bukan keluarga yang cukup.
Dengan kukirimi uang rutin, mulut mereka terkatup, meskipun ingatan tentang
mereka merupakan siksaan sendiri bagiku. Janganlah persoalkan hal-hal sepele
seperti itu. Bahkan di sini banyak kawan-kawanku yang memang sengaja dijual
oleh suaminya, serta banyak contoh lain di antara puluhan ribu
sahabat-sahabatku di kota ini.
“Kenapa kau bisa sampai di sini, Nia ?”
banyak sekali lelaki menanyakan seperti itu. Dan jawabanku sudah “kufotocopy”
ratusan lembar. Sebab aku tahu tak ada pertanyaan lelaki yang mendalam. Mereka
hanya “mesin” dari nafsunya, dan untuk hal-hal yang berbau cinta, kulayani
mereka cukup dengan “kertas-kertas loakan”. Cinta itu tidak ada. Karena itu terlalu banyak dibicarakan.
“Kau pantas jadi bintang film!”. Ratusan
lelaki memujiku. Dan mendengar itu selalu aku ingin berak.
“Mau jadi istriku?” rayunya.
“Kau yang jadi istriku, aku suamimu!”
jawabku.
“Aku tidak mengerti…”
“Lelaki tak pernah mengerti!”
“Tidak semua, Nia”
‘Ya, Tidak semua. Jika lelaki ialah
perempuan, maka bisa mengerti.”
“Aduh. Perempuan selalu membingungkan….”
“Lelaki selalu membunuh perlahan-lahan!”
Kalau sudah begitu mereka biasanya lantas
putus asa dan cepat-cepat saja menggulatiku seperti monyet makan mangga. Tak
ada bedanya. Semua yang mendatangiku adalah monyet-monyet. Biar ia sopir,
pelaut, guru, pengusaha, mahasiswa, seniman, gali, penjudi, dosen, makelar,
peternak, tuan tanah, pelayan, lurah, camat, jagal, pegawai, bandar, germo,
botoh maupun bupati. Beberapa di antara mereka yang putus asa hidupnya, agak
sedikit lebih baik. Yang lainnya menumpahkan segala dosa dan kehinaan di
wajahku.
Jadi, buat apa kupikirkan monyet-monyet?
Sekarang, “Tidur, tidur….”
Tidur lebih baik dari segala sesuatu.
Kalau saja ada tidur yang terbebas dari kenyang dan lapar. Kalau saja ada
kamar, sekecil apapun, yang memberiku tidur yang sekekal-kekalnya….
Aku tersentak tiba-tiba oleh suara adzan
yang keras. Mesjid hanya seratus meter dari tempatku ini. Jadi ini sudah pagi?
Dan aku belum tidur sekejap pun.
Kuraih pil tidur di meja dan kutelan. Suara adzan terus mengalun dan
mengejekku. Dalam warna-warni yang malang melintang di mataku, akhirnya aku
lenyap ke dalam mimpi buruk. Mimpi seburuk-buruknya, yang bahkan tak pernah
dialami oleh setan maupun malaikat.
Tapi tak lama. Setidaknya begitu
kurasakan. Dalam remang sakit batinku terdengar ketukan di pintu, “Nia! Nia!
Bangun! Ada tamu!”Aku tergeragap dan meloncat dari ranjang. Itu suara Om Jiman,
germo bosku, lelaki yang beruntung di dunia, tuan tanah yang kaya raya dan
berkuasa penuh atas sawah-sawahnya, yang menyediakan sawah-sawah itu untuk
disingkal, disingkal, disingkal, kapan saja ia mau.
Kubuka pintu dan tersenyum. Lihat, aku tersenyum—inilah
kemampuan dahsyat yang membuatku laris. Kulirik jam: 8.35 WIB . Gusti Allah, siapa gerangan lelaki yang di
pagi buta begini sudah hendak beli sarapan? Kupandang tamuku itu: lelaki
setengah tua gendut rapih dan berwajah pemabuk. Tak ada yang menarik. Tapi
kuladeni juga seperti Ken Dedes meladeni Ken Arok. Masih sangat ngantuk dan
tidur masih kuat menjadi bagian dari diriku. Tapi kuladeni. Juga lelaki
berikutnya dan berikutnya lagi. Mas mas yang budiman, kenapa tak berbagi hasrat
kepada sahabat-sahabatku di kamar lain, sesekali, meskipun sebagai sawah mereka
kurang indah, kurang liat dan kenyal? Aku sesungguhnya bukanlah perampas
ekonomi mereka.
Namun hari ini, memang “Hari Besar “
bagiku. Di sore hari, dalam tubuh dan jiwa lungkrahku, sampailah aku di pelukan
lelaki ke-1000 di ranjangku. Anak muda yang menarik, pakai jean dan bawa
tustel. Kelihatannya ini pegawai surat kabar.
“Mau memfoto aku bugil kan?” kucoba
melangkahi maksudnya.
Ia menggeleng dan tersenyum, “Kau tak
menghendaki itu kan?”
Aku hampir menunduk. Tapi kutahankan. Tapi
segala sikap dan perkataannya kepadaku sungguh lain. Aku agak gugup. Dan ini
yang penting: ia tak menyetubuhiku! Aku makin gugup….
Demikianlah, kami hanya bersetubuh batin.
Begitu singkat, tapi segala yang kupertahankan di batinku ambrol. Tak tahu apa yang terjadi,
tapi malam itu aku nangis….ini mimpi yang lain sama sekali. Tak tahu apa.
Ternyata karierku menajak. Dan inilah yang
sebenarnya ingin kukemukakan kepadamu. Dua hari kemudian Om Jiman pagi-pagi
menyodorkan padaku sebuah koran.
Di halaman pertama pojok bawah, terpancang fotoku serta segala cerita tentang
diriku: korban lelaki binal, kini meladeni 8 orang tiap hari……
Dan sebelum sempat kuselesaikan membacanya,
datang dua lelaki membawa koran
yang sama. Memandangku dengan aneh, satunya tersenyum. Kemudian datang lagi dan
lagi, lelaki dengan koran di tangannya.
Tingkah lakunya macam-macam, pendekatannya kepadaku beraneka ragam. Mereka
antri di depan pintu. Kawan-kawanku sibuk menggunjingkanku. Ada yang senang, nelangsa,
marah. Bagaimanapun aku yang memang cantik ini memang saingan mereka. Si Minah
merampas koran dari salah seorang lelaki dan merobek-robeknya, kemudian
menangis sekeras-kerasnya. Aku bingung, “Ayo, berapa lelaki merangkak di ranjangku
dalam sehari? sepuluh? dua belas ? lima belas? atau lima orang sekaligus mau
jadi babi mabuk di seputar tubuhku?” Semoga aku mati sebelum hancur sama sekali.
Semoga ada yang menulari herpes ke tubuhku supaya kusebarkan ke seluruh lelaki
yang datang dan meluas ke seantero kota dan seluruh negeri. Aku toh bisa
menikamkan pisau ke perutku sewaktu-waktu…..
0 komentar:
Posting Komentar