Setiap
shalat Jumat insyaallah anda selalu mendengar Khatib mengucapkan statemen
Allah: Barang siapa siapa diberi petunjuk oleh Allah maka tak ada yang bisa
menyesatkannya, dan barang siapa disesatkan oleh Allah maka tak ada yang
sanggup memberinya petunjuk.
Ada
perilaku, akhlak dan sikap hidup seseorang yang Allah menganggap bahwa orang
itu layak dianugerahi hidayah. Sebaliknya ada manusia dengan cara berpikir,
pola sikap dan langkah perilaku yang membuat Allah menyesatkannya. Yang
disesatkan oleh Allah mungkin bisa tak hanya seseorang, bisa juga sebuah
keluarga, suatu masyarakat atau bangsa, karena masing-masing berada di dalam
lingkar logika tanggung jawab tertentu atas kehidupan mereka, individu atau
kolektif.
Jadi
ada fenomena hidayah: Allah memberi petunjuk, menyikapi baik-baik
terhadap makhluk-Nya. Saya mengkategorikan ini opsi pertama.
Ada juga fenomena idzlal: Allah menyesatkan pihak yang menurut
Allah pantasnya memang hanya disesatkan. Khotamallohu ‘ala qulubihim
wa ‘ala sam’ihim ghisyawah, walahum ‘adzabun ‘adhim. Allah resmi menutup
hati mereka, menyumpal pendengaran mereka, sehingga yang mereka peroleh sesudah
peresmian itu adalah siksaan, stress, nafsu yang tak terkendali namun tak
kesampaian. Mulutnya teriak-teriak, dan kalau mulutnya lelah maka hatinya yang
terus teriak-teriak dalam keadaan bangun maupun tidur. Ia melakukan apapun saja
yang dianggap akan memuaskan hatinya, namun tak pernah tercapai.
Sebab
utamanya adalah karena ia tidak memiliki pendengaran atas apapun saja kecuali
atas suara nafsu dan egoismenya sendiri.
Kalau
anda dan saya adalah orang dengan kategori ini, maka siapapun tak bisa menolong
kita. Tetapi kalau ada orang lain yang ikut kita, turut menjadi asap dan
terjebak oleh nafsu dan ketulian kita, maka semoga ada orang yang dikehendaki
Allah memisahkan orang yang terjebak itu dari ketulian hidup kita. Orang itu
tak perlu masuk neraka di akhierat bersama kita. Orang itu juga tak perlu
menjadi lebih lama sengsara, kebingungan dan putus asa gara-gara mempercayai
kita.
Yang
jarang dipikir orang adalah bahwa orang yang ditutup hatinya oleh Allah ini
rata-rata tidak mengerti bahwa hatinya ditutup oleh Allah. Ia bahkan merasa
dirinyalah yang terbaik dan paling benar. Ia tidak mampu menemukan kebenaran di
luar dirinya. Ia hanya mampu mencari kesalahan di luar dirinya. Artinya ia
tidak memiliki kesanggupan sedikitpun untuk menemukan kesalahan di dalam
dirinya. Kemampuan mentalnya hanya sebatas kenyataan subyektif bahwa dirinya
yang benar dan lainnya harus salah. Ia tidak punya kekuatan hati untuk mampu
menyebut ada yang benar di luar dirinya. Maka karena kelemahan hati itu, tak
ada jalan lain kecuali memfitnah, terus jadi tambah sengsara, terus memfitnah
lagi, terus jadi semakin sengsara, terus memfitnah lagi sampai akhirnya kesepian
dan mati ngenes.
Disesatkan
oleh Allah, ditulikan telinganya. Jangankan bersyukur: mendengar saja tak
mampu.
Fenomena idzlal, yang memproduk sekian
manusia-manusia mudzlal, saya sebut opsi ketiga.
Sebab opsi kedua adalah di antara hidayah
dengan idzlal, yakni fenomena istidraj.
BahasaJombangnya digunggung. Bahasa Jawa umum dibombong. Fi
qulubihim maradlun fazadahumullahu maradla. Orang yang hobinya memelihara
penyakit di dalam hati dan batok kepalanya dan Allah menambahi penyakitnya.
Tentu
ini tak hanya berlangsung dalam kehidupan invidu dan pergaulan sehari-hari.
Fenomena ini akan anda jumpai potensialitasnya dalam berbagai kasus, konteks
dan skala. Bisa dalam hal kepemimpinan nasional, bisa dalam urusan-urusan
kasuistik pada level yang lebih kecil.
Kalau
anda punya masalah, kemudian yang menemani anda adalah jenis manusia dengan
opsi idzlal atau istidraj, maka sangat cepat anda menjadi sama dengan dia.
Kemudian orang lain bisa berpikir untuk menerapkan juga kepada anda apa yang
Allah lakukan: orang lain itu juga bisa nggunggung atau mbombong anda atau
malah menyesatkan anda sekalian. Karena anda telah menjadi manusia
poligami: istri pertama anda adalah kesengsaraan, istri kedua namanya
kebingungan, istri ketiga namanya keputusasaan.
Istri
pertama, Bu Sengsarawati, alias kesengsaraan, hanya bisa diproduksi oleh
penanganan masalah yang keliru, managemen yang kontra-produktif, serta langkah
tanpa strategi dan taktik alias tanpasiyasah wa kaifiyah. Istri kedua,
Bu Roro Bingung, pasti merupakan output dari tidak lengkapnya informasi, dari
pengetahuan yang tidak memadai, dari ketidaktahuan alias kebodohan, yang
terpelihara dengan subur karena telinga tuli dan hati hanya berisi nafsu. Istri
ketiga, keputusasaan, bahasa Qurannya Taiasu, jadi namakan saja Bu Taiasu,
adalah akumulasi dari dialektika penghancuran:
tidak
mendengar maka tidak tahu, tidak tahu maka tidak bisa, tidak bisa maka tidak
kelakon, tidak kelakon maka marah, karena marah maka penuh nafsu, karena penuh
nafsu maka tak bisa mendengar, tidak mendengar maka tidak tahu…dan teruskan
mubeng lagu kanak-kanak di dusun-susun: Joko Penthil thela-thelo ayo
lo lopis mambu ayo mbu mbukak tenong ayo nong nongko sabrang ayo brang brangkat
kaji ayo ji jimat rojo ayo jo joko penthiiiiiil thela-thelo….
Monggo
kalau ada yang ingin dan bertahan menjadi Joko Penthil. Selamat thela-thelo.
Mudah-mudahan Allah tidak menganugerahkan opsi keempat: fenomena
tark. Allah meninggalkan kita. Kita kabur kanginan. Mending Allah
kasih opsi kelima: adzab yang berupa pemusnahan sekalian.
Emha Ainun Nadjib
0 komentar:
Posting Komentar