Dapoer Kenduri
Cinta
Too much love
will kill you - if you can’t make up your mind
Torn between
the lover and the love you leave behind
You’re heading
for disaster - cause you never read the signs,
Too much love
will kill you every time
Apa yang tidak bermanfaat di negeri
ini? Bahkan sampah yang paling diacuhkanpun mampu direka ulang menjadi
barang-barang yang dapat dipajang di lemari hias ruang tamu. Kain-kain perca
dirajut pada bidang jahit yang menawan, sobekan-sobekan barang yang mestinya
tak berguna itu menjadi hal istimewa. Alat-alat elektronik mati suri di negara
pembuatnya, yang seharusnya telah disebut sebagai rongsokan, tetap “dioprek”
sedemikian rupa hingga bisa berfungsi lagi. Kepiawaian bangsa ini tak diragukan
lagi, dalam mengolah ketidakbergunaan.
Lacurnya, gerak jaman telah
menelikung keahlian diatas rata-rata itu. Negeri besar yang dipenuhi ragam
sumber daya hanya dijadikan sebagai obyek penderita dari hiruk pikuknya dunia.
Jurus-jurus keahlian yang dimiliki bangsa ini, kemudian hanya menjadi pengolah
ampas-ampas dari pabrik-pabrik peradaban. Tangan-tangan terampil Indonesia,
tidak lagi menjamah potensi dirinya, menekuni apa yang bisa dikelola dalam
bentuk komoditi kebanggaan sebagai kontribusi kepada dunia global atas
nama manusia nusantara. Ironis yang terjadi malah sebaliknya. Indonesia
menengadah, menanti lemparan-lemparan sisa kemajuan bangsa lain.
Layaknya muara sungai, Indonesia
adalah tempat yang strategis, bagi bertemunya aliran-dan pusaran air. Ruang
pembauran yang nyaman bagi arus-arus yang membawa segala pernik-pernik global.
Termasuk ampas-ampas putaran ekonomi, ampas dialektika politik dan ampas usang
kebudayaan dari segala penjuru dunia.
Ampas Tanpa
Batas
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
makna ampas adalah sisa barang yg telah diambil sarinya atau patinya. Ampas
adalah akhir dari mata rantai proses baik produksi, distribusi maupun
konsumsi. Semua proses sekecil apapun pasti menghasilkan ampas. Bagi bangsa
Indonesia metafora ampas sebagai hasil residu akhir ternyata masih belum final
karena masih dapat direkayasa (make over) menjadi sesuatu yg bermanfaat.
Pada kumpulan hasil hempasan itu terdapat potensi yang dapat didaur ulang
menjadi sesuatu yang bermanfaat. Ampas kelapa bisa diputar fungsi menjadi
makanan botok hingga mengepel lantai. Bahkan tempe busuk pun, yang tak lain
adalah padatan terendah dari ampas pembusukan kedelai, merupakan makanan
populer di negeri ini. Tak ada ampas yang terlepas begitu saja di negeri ini.
Dalam konteks kehidupan nan luas
makna ampas nyaris tanpa batas dimensi alias merambah ke segala aspek peradaban
bangsa. Namun makna original tetap mengacu pada sisa akhir yang tak bermanfaat
lagi untuk kehidupan. Ampas sejarah hingga ampas peradaban tak jarang mengemuka
pada riuhnya perdebatan politik nasional. Tema dan topik mengenai tokoh, sistem
politik hingga model ketatanegaraan yang telah usang (out of date)
atau telah berposisi sebagai ampas itu, masih terus dijadikan trending topic
di berbagai dialektika wacana.
Globalisasi sebagai sebuah
keniscayaan juga berperan dalam ekspansi ampas ke penjuru dunia. Segala bentuk
dan model dari dunia maju yang sudah terbukti gagal atau kadaluarsa di ekspor
ke dunia yang dikastakan tertinggal. Dari makanan junk food hingga medis
kesehatan meminggirkan produk lokal. Model ekonomi pasar bebas hingga
demokrasi liberal berbungkus hak asasi manusia dibumbui mitos pemanasan
global boleh jadi barang yang sebenarnya sudah tidak layak pakai lagi.
Rekayasa
(Make Over) Ampas
Imperialisme ampas saat ini
membutuhkan sistem yang termanajerial dengan baik. Untuk menjajakan ampas
menjadi barang mewah dan sakral perlu dilakukan sejumlah rekayasa. Pertama
adalah ketersediaan wadah ampas yang dapat berbentuk nama hingga kemasan baru (repackaging).
Pergantian ini sering mengecohkan para penikmatnya, dianggap sebagai sebuah
trend baru. Dunia kuliner sering mengistilahkan berbagai “temuan” mereka dengan
istilah yang bombastis demi memikat pelanggan. Kalangan seni pun (busana,
rambut hingga musik) tak kalah hebohnya dengan berbagai jenis aliran di
agungkan sebagai trend baru dengan nama baru. Politik pun membutuhkan pola bunglonisasi
para kader nya yang sudah ‘habis’ dengan membentuk berbagai wadah baru (partai
politik) atau dengan jargon perubahan baru.
Daur ulang ampas kemudian dilakukan
dengan mencuci kotoran-kotoran yang melekat pada ampas. Segala stigma negatif
atau buruk yang melekat dicuci dengan bantuan media. Seseorang yang baru saja
keluar dari penjara dapat dikesankan sebagai sebuah ikon baru yang layak
disanjung. Panglima pasukan yang pernah terkenal dengan kebengisan nya mampu
dirubah dengan kosmetika media menjadi seorang tokoh pembaharu agraria. Model
perekonomian yang gagal di dunia maju pun di daur ulang oleh media pendidikan
global. Ekspansi massif berbagai media menghantam memori pendek warga negeri.
Setelah kosmetika sukses digelar,
serikat ampas kemudian berlindung di balik jubah religiusitas. Banyak institusi
dan tokoh keagamaan di peralat bahkan jika perlu diciptakan institusi baru yang
mendukung kiprah mereka. Pencitraan harus lengkap dari bersih, berwibawa hingga
beriman harus menampilkan insan yang paripurna. Tutur kata yang lembut dan
sopan mampu meluluhkan hati para pemuja nya. Dari setiap episode perjalanan
sejarah negeri ini ternyata berangkat dari kekaguman sikap bukan atas karya.
Segala carut marut polemik kehidupan
negeri yang tak kunjung usai telah memperlancar rekayasa ampas ini. Desakan
perubahan dari jubah orde lama – orde baru – orde reformasi telah kehilangan
esensi nya dengan tetap berkiblat kepada pemain lama alias ampas. Pemimpin yang
instan dihasilkan dari proses kosmetika media terhadap ampas sejarah. Mereka
awalnya sangat dicintai karena sosok nya. Kemudian cinta itu sangat berlebihan
sehingga menjadi pemujaan. Rela berpuasa, jahit mulut hingga mati demi sang
pujaan.
Proses akhir dari rekayasa ampas
adalah meregenerasi kepada senyawa baru. Mereka menurunkan ilmunya dengan
intensif dan kemudian memperalatnya demi keberlangsungan eksistensi. Para
pelaku kebusukan, keculasan hingga perampokan negeri adalah generasi penerus
ampas. Golongan yang dahulu nya berteriak dan beraksi melawan ampas, saat ini
malah dengan berkolaborasi dengan khusuk. Nyaris tak ada beda nya dengan ampas.
Ternyata perlawanan hanya sekedar tanda untuk dilamar kemudian menikah dengan
kebatilan. Demikianlah siklus ampas seakan tak pernah putus dalam peradaban
sejarah negeri.
Puncak
Kegelapan Reformasi
Bangsa ini tak ubah nya seperti
Pandawa yang tertipu oleh kelicikan Kurawa kemudian terasing
di hutan selama 12 tahun. Kurawa plus antek-anteknya dengan lihai mengemas
perjudian sebagai sebuah keniscayaan ilmiah yang harus dijalankan sebagai
syarat kemajuan bangsa. Hutang luar negeri hingga kalapnya demokrasi dengan
ribuan pilkada tak ubahnya seperti permainan dadu yang tak kunjung usai.
Terperosok dalam rimba hutang, rimba
demokrasi hingga rimba korupsi yang ternyata hanya sekedar bertransformasi
total dari suatu kegelapan menuju kegelapan lainnya. Orde reformasi yang hadir
dengan menjelekkan periode sebelumnya tak ubahnya hanya sekedar mereformasi
kegelapan. Hutang malah berjejal , demokrasi makin suram, dan korupsi telah mensublimasi
ke berbagai bentuk. Akhirnya bangsa ini menjadi terasing dari hakekat
kesejatian mereka sendiri.
Negeri yang masih dikendalikan para
ampas selalu mengumandangkan impian ketentraman dan kejayaan di balik puncak
kegelapan. Kedaulatan yang telah sirna secara perlahan tak disadari oleh para
pemuja ampas. Rakyat hanya menjadi obyek para komprador ekonomi yang bersinergi
dengan para ampas, Mengutip idiom dari Cak Nun pada era 90an yang
mempersonifikasikan nasib bangsa ini seperti layaknya gelandangan di Kampung
Sendiri.
Rakyat saat ini tak dapat lagi
mengenal indikator (apalagi parameter) ampas dan sari. Bahkan Queen di eranya
mengingatkan cinta yang berlebihan dan kemudian menjadi pemujaan tanpa disadari
akan menjadi pembunuh. Matinya nalar dan rasa membuat manusia terserabut
solidaritasnya, tercabut etika dan parahnya dapat menyeret ke peradaban hina,
Meminjam suara dari kitab suci, peradaban yang lebih rendah dari hewan ternak.
Kenduri Cinta sebagai bagian dari
anak negeri berupaya menawarkan sudut pandang zoom in - zoom out
terhadap hal ini. Sudut pandang zoom in menyangkut hakikat
keberadaan manusia dan perannya di dunia. Sedangkan zoom out menelaah
peran negara sebagai tempat berinteraksinya mahluk (manusia). Tentunya sudut
pandang ini menggunakan instrumen alat pandang berupa catatan sejarah bangsa.
0 komentar:
Posting Komentar