Di jaman sebelum
Kanjeng Nabi mengantarkan ajaran Allah, lelaki di masyarakatnya meletakkan kaum
wanita sebagai barang atau aksesoris berlian atau budak. Lelaki waktu itu,
kalau kaya, bisa mengawini ratusan betina. Kaum wanita dianiaya, direndahkan derajatnya, dianggap barang, diambil
dibuang semuanya oleh lelaki. Itupun banyak lelaki yang mengawini wanita
dengan pamrih atau mlorotin harta keluarganya. Kaum perempuan dieksploitasi
bukan hanya seksnya, tapi juga harta bendanya. Dalam keadaan itu Allah melakukan revolusi dari fakta ratusan istri
diradikalkan menjadi hanya paling banyak empat istri, dengan peringatan jangan
mengeksploitasi mereka dalam hal apapun. Sejarah terciptanya hukum itu
bertahap, ada yang murni pemikiran dan ada yang berdasarkan empirisme sosial
dan juga ada bagian dari hukum murni yang lahir sebagai gagasan tidak serta
merta bisa langsung diaplikasikan, ia memerlukan tahapan-tahapan sosiologis
untuk bisa dilaksanakan dengan sempurna.
Dari ratusan istri
diradikalkan menjadi empat istri itu sebuah tahap. Dan tahap inilah yang
dipergunakan oleh sebagian besar pelaku pernikahan dalam islam untuk dipakai
sebagai dasar hukum bahwa lelaki boleh beristri empat… Pada kalimat yang sama
dengan radikalisasi ratusan istri menuju keempat istri, Tuhan memancing kedewasaan akal manusia: “ Kalau engkau takut akan
tidak bisa berbuat adil, maka satu istri saja”. |Itupun kalimat sebelumnya,
yang menyebut istri satu atau dua atau tiga atau empat, dimulai dengan kata
“maka”. Artinya, pasti ada anak kalimat sebelumnya. Ada latar belakangnya,
ada pertimbangan-pertimbangannya, tidak bisa dipotong , tidak bisa dipotong
disitu… Maka kawin empat berangkat dari prasyarat sosial yang kita himpun di
samping dari yang dipaparkan oleh Tuhan dan sejarah, juga kita cari melalui
akal kita sendiri. Kawin empat menurut kematangan akal dan rasa kalbu
kemanusiaan tidak pantas dilakukan atas pertimbangan individu karena ia sangat
berkonteks sosial. Masalahnya tidak terletak pada selera, kenikmatan atau
kemauan pribadi, melainkan pada kemashlahatan bersama.
Engkau menjadi
manusia yang tidak tahu diri kalau Tuhan mengatakan “kalau engkau takut tak
bisa berbuat adil….” Lantas engkau bersombong menjawab kepada Tuhan: “aku bisa
kok berbuat adil”’, kemudian ambil perempuan jadi istri keduamu. Bahkan engkau
nyatakan “aku ingin memberi contoh poligami yang baik” – seolah Tuhan tidak
membekalimu dengan akal dan rasa kalbu kemanusiaan. Padahal Allah juga tegas
dengan bahasa sangat ilmiah dan berdimensi hukum menyatakan bahwa “ tidaklah
engkau (kaum lelaki) sesekali akan pernah mampu berbuat adil”. Silahkan engkau
membantah-Nya. Silahkan! Silahkan! Silahkan!
Emha Ainun Nadjib
0 komentar:
Posting Komentar