Pada saat heningnya malam itu, kawan saya tiba-tiba bertemu
dengan Nabi Muhammad. Ia kaget setengah mati. Bahkan sangat canggung sikapnya. Barangkali
takut, atau, lebih tepat, ia dihinggapi semacam rasa pekewuh yang amat
merepotkan hatinya.
“Nah, sahabatku,” berkata Nabi. “Kamu sebenarnya sayang sama
aku atau tidak, sih?”
Agak gelagapan kawan saya menjawab pertanyaan Nabi.
“Sayang sih, sayang wahai Nabi….”
“Kenapa kamu tidak pernah ingat aku? Kenapa kamu tidak
pernah menyebut namaku?”
“Aduh, Nabi, gimana yaaa, …”
Ia gemetar, “bukannya tidak cinta. Tapi mana sempat, ya,
Nabi. Waktuku terkuras habis, bahkan kurang, untuk mengingat-ingat Allah. Juga
tak ada lagi ruang bagi yang selain Ia. Mulutku, darah dan urat syarafku, hati
dan jiwaku seakan sudah hilang lenyap. Tinggal Allah. Allaaah melulu….”
Sungguh tidak enak rasanya. Kawan saya merasa posisinya
sangat ruwet. Sebetulnya ia ingin menjelaskan lebih panjang lebar lagi, tapi
mungkinkah Kanjeng Nabi Muhammad, Rasul Sakti pamungkas segala derajat ilmu
itu, tak mengetahui apa yang ia ketahui? Misalnya, bukankah Muhammad sendiri
yang menganjurkan kita umat manusia tidak menumpahkan seluruh hidup mati ini
kepada yang selain Allah. Kalau bocor sedikit saja, syirik namanya.
Wajah Muhammad tidak boleh kita gambar. Bukankah itu berarti
segala apa pun sirna di hadapan Allah? Memangnya apa yang sungguh-sungguh ada
selain Ia?
Pada masa mudanya kawan saya itu selalu bertanya: Mengapa
orang-orang tua selalu menganjurkan agar kita membaca shalawat Nabi dalam
situasi-situasi bahaya? Kok aneh. Kalau pesawat oleng, kalau ada dar-der-dor di
sana-sini, kalau ada bahaya mengancam, kok malah disuruh membaca shalawat yang
mendoakan keselamatan Muhammad. Padahal justru kita yang perlu selamat.
Sedangkan Muhammad sendiri sudah jelas selamat, terjaga, terpelihara, terpilih
di singgasana paling karib di sisi Allah.
Akhirnya kawan saya memperoleh penjelasan bahwa konteks
bershalawat adalah keseimbangan jual beli kita semua dengan Muhammad. Semacam
take and give. Kita mendoakan Muhammad, berarti kita “pasang radar” untuk
memperoleh getaran doa Muhammad bagi keselamatan seluruh umat-Nya. Muhammad itu
agung hatinya, amat kasih kepada semua “anak buah”-Nya di muka bumi, amat
merasakan segala situasi hati kita, duka derita kita semua.
Kawan saya itu bingung: Tuhan menciptakan seluruh alam
semesta ini seolah-olah hanya untuk suatu permainan birokrasi. Sudah jelas
semua manusia, bebatuan, pepohonan, angin, langit, jin druhun prayangan, tidak
bisa tidak kembali kepada-Nya, tetapi itu harus ditempuh melalui berbagai
aturan permainan sandiwara dan kode etik pengembaraan yang dahsyat di satu
pihak dan sepele di lain pihak. Maka, di tengah kegalauan rasa pusing
filosofis, permainan bahaya politik, ekonomi dan budaya, serta di tengah
simpang siur rahasia hidup yang maha tak terduga, kawan saya itu akhirnya
memutuskan untuk memusatkan diri pada Allah saja, Allah, Allah, Allah terus
sampai melewati liang lahad, alam barzakh, dan seterusnya nanti.
Tiba-tiba Kanjeng Nabi Muhammad nongol… menagih cinta.
Alangkah tak enak posisi macam ini! Apa yang terjadi!
Ternyata Beliau malah tertawa, “Kamu kok kelihatan takut,
sahabatku. Mengapa?”
“Aku merasa pekewuh, Nabi….”
Nabi tertawa lagi. “Mengapa pakai pekewuh segala? Mungkin
kamu orang Jawa, ya? Kamu pikir aku bakal marah atau tersinggung, ya, karena
kamu tidak ada waktu lagi untuk ingat aku?”
Kawan saya tersipu-sipu menahan rasa malu.
“Coba, apa sih bedanya kamu ingat Allah dengan ingat aku?”
berkata Nabi, “Kalau kau menumpahkan seluruh hidupmu untuk Allah, cukuplah itu,
sama saja….”
Mendadak Muhammad lenyap dari hadapannya. Kawan saya menarik
napas lega. Haihaaata! Ini pertemuan agung, pertemuan agung! Sebenarnya sudah
bisa diduga bahwa nabi anggun dari Timur Tengah itu bukan tipe manusia cerewet
atau pencemburu yang membabi buta.
Ia empan papan, dan mengerti inti jagat. Tapi diam-diam ada
yang tetap mengganjal di hati kawan saya. Itu berkaitan dengan rahasia hati
yang amat diyakininya, namun belum pernah satu kali pun ia ungkapkan, apalagi
kepada manusia, baik di pasar maupun di mesjid.
Pintu rahasia itu pada akhirnya jebol, pada suatu hari,
tatkala Allah bertanya kepadanya, “Hai, sebenarnya kamu itu sayang Aku atau
tidak, sih?”
Modarlah kawan saya. Ketika ia menjawab,”Sayang sih, ya
sayang….”
Tuhan terus mengejarnya, persis seperti yang dilakukan oleh
Muhammad.
“Mengapa kamu tidak pernah ingat Aku? Kenapa kamu tidak
pernah menyebut nama-Ku?”
Dalam rasa takut yang amat puncak, kawan saya nekad.
“Begini, ya, Tuhan. Aku ini orang melarat. Sekolah saja
tidak pernah rampung. Kalah terus-menerus di segala persaingan, terutama dalam
bidang cari pekerjaan. Makan minumku tak menentu. Bahkan tempat tinggalku juga
selalu darurat. Padahal, aku juga tahu amat banyak saudaraku yang sama
melaratnya dengan aku, bahkan banyak yang jauh lebih melarat. Aku juga melihat
banyak hal yang tidak benar yang dilakukan oleh penguasa-penguasa manusia dalam
manajemen alam semesta ini. Dalam persoalan ini Tuhan ‘kan jauh lebih mengerti
dibandingkan dengan aku. Jadi, aku tidak perlu omong soal kemiskinan
struktural, monopoli ekonomi, atau kebudayaan jahiliyah modern. Seandainya
bisa, aku ini maunya sih, punya tangan yang besar, panjang, dan kuat, sehingga
mampu mengatasi semua problem ketidakadilan dan ketidakbijaksanaan itu. Tapi
aku, Tuhan ‘kan tahu, tidak punya tangan. Aku tak memiliki kaki. Darahku tak
begitu merah lagi. Tulang-belulangku tidak lebih dari hanya kayu-kayu kering.
Mulutku terbungkam. Aku hanya tinggal memiliki hati untuk menangis. Tapi aku
tidak boleh menangis, bukan? Seluruh waktuku, tenagaku, hidupku, ruang usiaku
terkuras habis oleh hal-hal yang kusebutkan itu. Lalu bagaimana mungkin aku sanggup
melunasi utang cintaku kepada-Mu? Apakah Engkau masih butuh untuk kuingat dan
kusebut nama-Mu? Aku ini lapar, kau tidak memberiku makan. Aku ini sakit, Kau
tidak menjengukku. Aku ini kesepian, Kau tidak menyapaku…"
Allah tersenyum. Kalimat-kalimat terakhir itu adalah
kata-kata-Nya sendiri.
Emha Ainun Nadjib
0 komentar:
Posting Komentar