1
Apa benar Jazz itu suatu aliran musik? Alangkah sempitnya
kalau ia hanya sebuah aliran, berjajar atau berderet dengan aliran-aliran yang
lain. Aku tak mau Jazz sekedar sebuah sungai yang mengalir, betapapun indahnya
sungai itu. Bahkan pun andai ia sungai di sorga.
Aku mau Jazz itu pengembaraan di jagat raya. Aku mau Jazz
itu petualangan kemerdekaan menyusuri seluruh wilayah, bidang, garis, titik-titik,
ketinggian, dan kedalaman cakrawala yang menantang atau jiwa rebah di bumi,
kemudian terbang kembali segala penjuru langit tujuh. Tujuh Langit, di luar
maupun di dalam diri kita.
2
Tentu saja Jazz itu suatu aliran. Tetapi aku benci kata
‘aliran’ dirampok oleh epistemologi, disempitkan oleh kebudayaan, didangkalkan
oleh bahasa, dan dikerdilkan oleh politik dan institusi agama.
Jangan katakan Jazz itu aliran. Nyanyikan: Jazz itu
mengalir. Jazz itu berlompatan, berhembus, terbang melayang, menelusup, dan
menyelam. Jazz menyapa setiap kemungkinan, Jazz menyentuh segala probabilitas.
Jazz memandang horizon nun jauh. Jazz mendekap cakrawala di rahim rahasia
dirinya.
Jazz itu cahaya yang meledak dari Al-Ahad, Sang Entitas
Tunggal, memecah diri-Nya menjadi dan mencapai Al-Wahid, menyebar, menabur,
menjagat mensemesta, meruang tanpa sisa, mewaktu, bertualang di Fana, menembus
baqa.
Jazz itu semangat iradah cinta dan hak absolut kemerdekaan
Allah atas diri-Nya dan apapun saja yang diciptakan oleh-Nya. Allah menyamar menjadi
alam semesta, menjadi umat manusia, menjadi bunyi dan warna, menjadi kata dan
makna.
Allah menggemerecakkan nyanyian pada gitar. Allah berdendang
pada trombone, terompet, dan saksopon. Allah melampiaskan rindu pada tabuhan
drum. Allah menyatakan cinta dari belakang punggung para pengrawit. Allah
bermanja dan pura-pura mengeluh di snar biola. Allah melantunkan lagu,
meneriakkan janji kasih sayang, memekikkan rasa menyatu, sambil bersembunyi di
dalam leher penyanyi hamba-Nya.
3
Jazz itu penerimaan seluruh muatan ruang dan waktu, bahkan
kesetiaan mengetuk semua pintu. Jazz tidak membuang siapa-siapa, Jazz tidak
mengharamkan apa-apa, Jazz memanggul ilmu, kecerdasan, dan kepekaan untuk
meletakkan sesuatu pada tempatnya. Haram adalah disharmoni, sesuatu yang
dijodohkan padahal bukan jodohnya, sesuatu yang dipadukan padahal bukan
paduannya.
Maka Jazz tidak mengenal ‘fals’, karena pelakunya mengerti
untuk tidak mempertemukan dua hal yang semestinya bersemayam di tempat yang
berbeda. Jazz itu puncak kesadaran ‘mizan’, keseimbangan, harmoni. Harmoni
adalah kejujuran atas diri, letaknya dan lelakunya. Kejujuran adalah keikhlasan
menjadi ‘diri tempat Tuhan menjelma’, serta kerelaan berada di maqam atau
wilayah yang telah disusun dan ditata oleh sunnah-Nya.
Orang yang belum mempelajari harmoni, belum meneliti peta
‘iradah’ dan tata ‘sunnah’, terkurung di dalam kebutaan dan kebodohan untuk
membuang-buang yang ia tak pahami, menghardik-hardik yang ia belum mengerti,
mensesat-sesatkan yang ia belum dalami.
Orang mengharam-haramkan saudaranya dan mengusir-usir mereka
dari hakekat cinta, karena belum mengetahui bahwa tidak ada sejengkal ruang pun
di luar jagat kasih sayang-Nya.
4
Hai.
Apakah Jazz itu ‘musik’? Dan ‘musik’ adalah bagian dari
kehidupan? Jadi, apakah Jazz itu ‘bagian dari bagian’ kehidupan?
Jangan-jangan Jazz itu cara menjalani kehidupan.
Jangan-jangan Jazz itu sikap mental, bahkan sikap hidup.
Jangan-jangan Jazz itu cara pandang, cara memandang, cara
memperlakukan kehidupan.
Jangan-jangan Jazz itu metoda bersyukur dan teknologi
kejiwaan untuk bergembira oleh dan atas indahnya ciptaan-ciptaan.
Jangan-jangan Jazz itu ‘syariat’, yang orang mengawali
pembelajarannya dengan shalat, dengan modal rasa berhutang.
Jangan-jangan Jazz itu ‘thariqat’, yang orang mengawali
pelatihannya dengan puasa, dengan bekal rasa tiada.
Jangan-jangan Jazz itu ‘haqiqat’, yang orang mengawali
kesetiaannya dengan zakat, berbekal rasa tak berpunya.
Jangan-jangan Jazz itu ‘ma’rifat’, yang menyampaikan
pelakunya pada ‘qiblah’ (kiblat) di pusat kalbunya.
Jangan-jangan Jazz itu mesranya dan indahnya percintaan
dengan Tuhan, yang tak kentara dan tak disangka oleh kebanyakan manusia, bahkan
mungkin juga oleh para pelaku Jazz sendiri.
5
Maka jangan tanya apa definisi Jazz, karena dua alasan. Pertama,
begitu Jazz didefinisikan, berakhirlah sejarah eksplorasinya. Kedua, karena
definisi itu membelenggu, sedangkan Jazz itu memerdekakan.
Pun jangan salahkan aku yang lancang menulis sesuatu dengan
menyebut-nyebut kata Jazz, yang semua orang menyepakati bahwa itu bukan
milikku, bukan hakku, apalagi ekspertasiku. Tak ada pengetahuanku tentang Jazz.
Aku lebih dari awam. Bahkan tak ada satu alat musik yang sesederhana apapun
yang aku mampu memainkannya. Berkunjunglah ke Planet Musik, musik apapun: tak
kan kau temukan jari jemari dan wajahku.
Akan tetapi tak ada hak padamu atau pada siapapun saja untuk
mempersalahkan cintaku. Karena Jazz sudah terlanjur memasuki telingaku dan
menyentuh jiwaku, maka kudekap ia menjadi bagian dari cintaku.
Jazz adalah kuda tunggangan cintaku. Jazz adalah
burung-burung terbang kerinduanku. Jazz adalah cara darahku mengalir. Jazz
adalah irama perjalananku. Jazz adalah metode mensyukuri kehidupanku. Jazz
adalah ‘isyq ijtihadku, keasyikan pencarian cintaku. Jazz adalah riuh rendah
perjuangan dan sunyi pisowanan ‘tauhid’ku.
6
Hai.
Kehidupan dituntut memahami Jazz, ataukah Jazz memahami
kehidupan? Manusia memahami Jazz ataukah Jazz memahami manusia? Kehidupan
mangandung Jazz, ataukah Jazz hamil kehidupan? Manusia dialiri Jazz, ataukah
Jazz dialiri manusia?
Haha.
Itu pertanyaan sebelum Jazz. Itu deskripsi yang tanggal di
depan gerbang Jazz. Itu pertanyaan orang yang berjarak dari kehidupan. Itu
pertanyaan yang berhitung-hitung sehingga cinta menjauhinya.
Jangan dijawab kedua-duanya. Jazz adalah penerimaan bunyi
oleh bunyi, keridhaan nada atas nada, keikhlasan nuansa dengan nuansa,
ketulusan cinta bersama cinta. Jadi
kenapa langit dihitung-hitung tujuh?
Hahaha.
Terserah-serah Yang Punya. Tuhan yang menggagas hak, Ia juga
yang punya ide tentang kewajiban. Semau-mau Ia juga akan mengikatkan diri pada
aturan-Nya ataukah melanggarnya.
Kenapa doremifasollasi? Kenapa ‘qiraah-sab’ah’? Kenapa
satuan tujuh dijadikan patokan hampir semua kejadian-kejadian besar dalam
sejarah? Kenapa 3,5 abad bersama VOC dan 3,5 tahun bersama Nippon? Kenapa tujuh
saja, jangan sampai 5 jangan pula berlebihan hingga 10? Tak perlu 8-9 amat,
meskipun kalau bisa jangan sampai 5-6. Tujuh adalah presisi nuansa
kebersahajaan. Sebagaimana Jazz menyederhanakan peta keindahan yang sebelumnya
dianggap mewah. Sebagaimana Jazz mencairkan, meng-udara-kan, meng-gelombang-kan
padatan-padatan bunyi.
Hahaha.
Tuhan bermesraan denganmu. Menjebakmu di antara 1 dengan 7,
di antara 7 ke tak terhingga. Di senja hidupmu engkau lelah oleh
hitungan-hitungan kehidupan, sehingga rebah di pangkuan-Nya.
Kecuali engkau yang menudingkan jari-jarimu ke atas untuk
menunjuk langit. Padahal langit bersemayam di dalam jiwamu.
Bumi dalam langit. Langit dalam bumi. Keduanya dalam engkau.
Bumi langit mikro-kosmos. Engkau makro-kosmos. Karena Ia bertajalli padamu.
7
Apakah Jazz adalah Duke Ellington, Louis Armstrong, Buby
Chen, Bing Slamet, atau Balawan dan Beben?
Habibuna Maulana Khidlir AS adalah profesor segala profesor
Jazz kehidupan, gurubesar segala gurubesar pengembaraan men-tauhid. Yai Sudrun
ngiler menetes air dari sudut bibirnya sepanjang zaman. Wajahnya buruk
seburuk-buruk wajah. Pakaiannya dikenakan untuk menyamar agar disangka manusia
sebagaimana yang menyangka. Tak pakai alas kaki ke manapun, tak cuci kaki naik
dan masuk Masjid. Membuka sarungnya dan kencing di lantai Masjid. Tapi tak bisa
kau salahlah dia karena tak ada cairan kencing Sudrun di lantai Masjid.
Seribu orang menabuh rebana. Sudrun bosan dengan regulasi
nada dan irama rebana. Ia merebut satu rebana, memukulnya sekali, padam ratusan
lampu petromak. Kemudian ia lempar rebana itu, berlari dan tertawa-tawa,
mentertawakan dunia dan kedunguan penghuninya.
Sudrun tidur telentang di tengah jalan raya. Semua kendaraan
stop. Macet tak bergerak. Kedua kakinya dilempar-lempar ke atas seperti bayi.
Wajahnya menangis seperti bayi. Mulutnya menangiskan tangis bayi. Para petugas
menghampirinya dengan takut-takut: “Yai Sudrun kenapa nangis di tengah jalan.
Ayo kita ke warung saja. Kita cerita-cerita di sana. Supaya jalan bisa dipakai
oleh ratusan pengendara yang lalulalang menuju keperluannya masing-masing”
Yai Sudrun meningkatkan tangisnya, memuncakinya dengan
kemarahan: “Sejak pagi tadi Kanjeng Nabi Muhammad datang mengunjungi kita di
sini. Kalian semua tak ada yang menyambutnya. Tak ada yang perduli kepada
beliau. Kalian semua sibuk mengejar uang dan hal-hal rendah lainnya”.
Para petugas menjawab: “Lhoo Yai, kami tidak tahu bahwa
Kanjeng Nabi hadir ke sini”
Memang. Jazz melihat yang tak terlihat oleh lainnya.
Emha Ainun Nadjib
0 komentar:
Posting Komentar