Kebanyakan orang yang pergi berobat ke dukun penyembuhan
lemah syahwat, sekeluarnya dari sana biasanya punya kecenderungan psikologis
untuk memberi kesan kepada orang lain bahwa ia telah sukses menegakkan kembali
syahwatnya — meskipun pada kenyataannya tak ada yang berubah pada syahwatnya.
Pertimbangannya minimal ada dua. Pertama, ia merasa akan
turun martabatnya kalau di pandangan orang lain ia masih lemah syahwat. Watak
kelekakiannya mendorong terciptanya citra bahwa ia gagah perkasa. Kedua, kalau
ternyata pengobatan yang ia alami tidak mengubah apa-apa, maka ia tidak mau
sendirian tertipu. Ia mau setiap orang menjadi korban yang sama seperti dia.
Manusia hidup dalam “citra”, tidak harus dalam kenyataan.
Orang memilih bertempat tinggal dalam “kesan”, bukan realitas. Yang penting
orang lain terkesan bahwa ia hebat, tidak penting apakah ia hebat betul atau
tidak. Yang penting Anda menampilkan indikator-indikator kasat mata yang
membuat orang lain menyangka Anda orang baik, dermawan, jujur, atau citra baik
apa saja.
Toh kebanyakan masyarakat juga memiliki kemalasan yang
sangat serius untuk menelusuri atau menyelami realitas, mereka umumnya pasrah
pada kesan tentang seseorang. Yang penting Pak Itu menyumbang sangat banyak
untuk pembangunan Masjid: bahwa uangnya dari diperoleh dari korupsi atau hasil
“mbekingi” perjudian, semua jamaah sepakat diam-diam untuk pura-pura tidak
tahu.
Yang penting Megawati itu putrinya Bung Karno dan sejak awal
hidupnya sudah nyantol dengan sejarah kebangsaan. Tidak penting apakah Megawati
mengerti persoalan negara dan rakyat atau tidak, apakah memiliki kapabilitas
managemen untuk menjadi kepala Negara atau tidak. Tidak penting apakah kalau
menjawab wawancara wartawan selalu menggelikan dan selalu juga berikutnya
Laksamana Sukardi menambahinya dengan substansi yang sering berbalikan dengan
apa yang terlanjur dikemukakan oleh Megawati.
Kalau Bu Mega terlanjur bilang “A”, padahal yang benar
adalah “B”, maka pendamping beliau kemudian mengatakan: “Maksud Bu Mega itu ‘B’
sebenarnya”, dan kita kaum wartawan harus menulis “B”, sebagai penjelasan dari
“A”. Padahal jelas “A” dan “B” bertentangan satu sama lain. Kalau saya bilang
“Setan”, pendamping saya bilang “Maksudnya Cak Nun itu Malaikat” – maka seluruh
Indonesia dan dunia akan diberi informasi tentang malaikat, padahal
sesungguhnya yang nyata adalah setan.
Kenyataan “setan” bisa ditutupi dengan citra atau kesan
“malaikat”. Atau sebaliknya. Itulah atmosfir wacana yang sampai ke masyarakat
selama ini, sehingga sesungguhnya rakyat Indonesia tidak pernah mengerti
apa-apa. Saya menampung anak yatim sejak kecil dan saya posisikan sebagai anak
saya sendiri sampai selesai saya sekolahkan. Sesudah tamat, ia dibisiki
seseorang yang mengatakan bahwa sebenarnya Cak Nun itu orang yang culas dan kejam
– si yatim itu langsung percaya dan mengambil keputusan untuk meninggalkan dan
memusuhi saya.
Seorang teman saya membantu seorang Kiai buta mencari biaya
untuk membangun gedung demi gedung pesantren, selalu memberikan pembiayaan
untuk operasional pesantren, serta membantu si Kiai dalam berbagai bentuk.
Nanti ketika santri dan ummat berkumpul bersama Kiai dalam suatu acara khol,
mereka ditanya siapa idola mereka, siapa pemimpin yang mereka anut?
Mereka menjawab: “Gus Dur!”
“Berapa kali Gus Dur nyambangi pesantren Panjenengan?”
Mereka menjawab: “Belum pernah”.
“Apakah Gus Dur pernah memberi bantuan kepada pesantren
Penjenengan?”
“Belum pernah”.
“Apakah ada di antara Panjenengan yang kenal Gus Dur?”
“Tidak ada”.
“Apakah Gus Dur kenal Panjenengan?”
“Tidak”.
Tetapi Gus Dur adalah idola mereka, panutan mereka, pemimpin
mereka, pilihan presiden mereka.
Orang hidup dalam “citra”, tidak dalam kenyataan. Kenyataan
senyata apapun kalah oleh citra. Saya tidak pernah masuk Parpol, tidak pernah
menjadi anggota DPR, tidak pernah menjadi pejabat serendah apapun, tidak pernah
punya perusahaan, tidak pernah berususan dengan proyek-proyek dan konglomerat,
dan sampai hari ini saya menunggu orang membuktikan dan mengumumkan
besar-besaran bahwa saya pernah dikasih uang oleh Suharto atau siapapun
kroninya — dan tak kunjung datang pengumuman itu — tetapi sebagian orang tetap
mencitrakan saya sebagai “orangnya Suharto”. Sementara mereka mengangkat Akbar
Tanjung yang dulu Menterinya Suharto menjadi calon presiden reformasi. Juga
menjunjung Nurkhalis Madjid yang dulu anggota MPR di jaman Suharto.
Manusia Hidup dalam Citra. Citra itulah yang dipertahankan
mati-matian oleh Amrozi. Amrozi marah besar dan serius kalau dikatakan bukan
dia yang melakukan pengeboman di Bali 12 Oktober itu. TNI bikin demo bom di
Bogor untuk membuktikan bahwa TNI tidak punya kemampuan untuk melakukan
pemboman jenis “Dimona Micro Nuclear” yang aksesnya hanya dimiliki oleh 5
negara besar di luar Indonesia, yang menghasilkan lubang besar di tanag dan jamur
raksasa di angkasa, yang dalam radius 20 meter sekelilingnya tak ada benda yang
tersisa kecuali jadi abu. Jadi kemampan Amrozi jauh di atas TNI.
Kalau Anda membuktikan bahwa bom yang dipasang oleh Amrozi
di Bali — namun tidak meledak karena dirancang untuk didahului beberapa menit
oleh meledaknya “Dimona Micro Nuclear” — hanyalah bom ringan dan sekedar di
atas molotov atau “Sinso” (Bensin Rinso) dan di bawah TNT atau C4: Amrozi akan
menjawab: “Hasil ledakan itu jauh melebihi kapasitas bom aslinya berkat
kekuasaan Allah, sebagaimana lemparan pasir Mujahidin di Afganistan bisa
menghancurkan tank-tank”.
Amrozi tidak terima kalau dia dituduh bukan dia pelaku bom
Bali. Dia ingin hidup dalam citra, bukan dalam kenyataan tentang dirinya. Maka
jangan heran dia bergembira ria dihukum mati, karena vonnis itu mengukuhkan
citranya. Maka ia juga selalu bertanya kepada setiap Polisi yang mengawalnya:
“Pak, kapan sih saya ditembak?” Amrozi sangat merindukan mati, dalam konsep
yang dia pahami sebagai syahid.
Amrozi tidak mau dituduh “lemah syahwat”. Dia butuh citra
kejantanan tentang dirinya. Itulah sebabnya seorang pakar psikiatri dari Unair
meminta Amrozi diperiksa secara psikiatris, dan bukan diperiksa oleh psikolog
seperti yang dilakukan oleh Polri. Sebab kalau pemeriksaan klinis-psikiatris
dilakukan pada Amrozi, secara yuridis ia akan bebas — itu itu merugikan Polri
maupun Amrozi sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar