Seorang anak perempuan kecil
kehilangan bandul kalung bermata safir biru. Ia tidak paham semahal apa permata
itu, namun ia tahu batu mulia tersebut sangat berharga. Disingkapnya selimut
dan seprei tempat tidurnya. Ia mencari di setiap sudut kamarnya, tetapi
perhiasan itu tidak juga tampak. Dengan rasa khawatir anak tersebut bercerita
pada ibunya. Ia kaget dengan kata-kata yang diucapkan ibunya.
“Sudah, tidak apa-apa. Kalau sebuah
benda hilang, artinya itu bukan milikmu lagi. Tidak perlu risau,” ujar sang
Bunda. Alih-alih marah atau ceramah panjang-lebar tentang betapa mahalnya
permata tersebut atau menyalahkan kecerobohannya, kata-kata si ibu malah begitu
menenangkan hati si anak.
“Kalau Allah berkehendak, nanti
akan balik lagi. Tapi jika tidak, ya sudah bukan milikmu lagi, Sayang!” ujar
ibunya. Si anak yang tadinya nyaris tenggelam dalam perasaan bersalah, kini
malah tumbuh sebuah keyakinan bahwa semua milik Allah dan suatu saat akan
diambil-Nya kembali.
Beberapa hari kemudian bandul
kalung bermata batu safir itu ditemukan menggantung di sapu. Si anak perempuan
begitu kaget, ia tidak menyangka benda berharga itu akan kembali padanya.
“Berarti safir biru ini masih milikku,” ujarnya gembira.
Bertahun-tahun kemudian, gadis kecil
itu sudah dewasa. Ketika seorang lelaki yang berjanji akan menikahinya pergi
entah ke mana, ia berkata pada dirinya, “Dia berarti bukan milikku.” Begitu
pula saat ia sudah berumah tangga, saat hartanya hilang, pembantu rumah
tangganya pergi, atau guru di sekolah miliknya keluar, ia tak risau. Kata-kata
dan sikap ikhlas yang ditunjukkan ibunya saat batu mulianya hilang begitu
membekas di hatinya dan memuliakan cara berpikir dan bersikapnya.
Kisah lain terjadi. Seorang anak
kehilangan sepeda barunya. Ayahnya memarahinya bahkan menghukumnya. Si anak
kemudian sering melawan ayahnya sehingga dianggap bermasalah. Kepada psikolog
yang menanganinya, anak tesebut bercerita bahwa kenakalannya berawal dari
tragedi sepeda. “Sesungguhnya akulah yang paling marah, sedih, dan merasa
kehilangan karena sepeda yang sudah lama kuinginkan akhirnya hilang. Namun ayah
sama sekali tak memahami perasaanku, yang ada di pikiran ayah bahwa aku anak
ceroboh, tidak kasihan pada ayah yang sudah banting-tulang,” ujarnya. Perasaan
kehilangan saja sudah menjadi hukuman, ditambah lagi hukuman fisik dan
kata-kata menyakitkan membuat si anak berontak.
Dikisahkan Anas Ibn Malik bahwa
suatu kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya untuk suatu
keperluan. Di tengah jalan ada anak-anak sedang bermain, lalu ia pun bergabung.
Saat asyik bermain, tiba-tiba Rasulullah memegang pundaknya. Lalu, sambil
tersenyum berkata, “Hei Unais, kerjakan perintahku!” Alih-alih marah, Nabi
Muhammad malah memanggil dengan nama kesayangannya ‘Unais’. Sejarah kemudian
mencatat, Anas sebagai Sahabat yang meriwayatkan 2.286 Hadits. Anas berkata,
“Lima belas tahun melayani Nabi, belum pernah sekali pun beliau membentak, baik
di dalam maupun di luar rumah.”
Saat anak menghilangkan barang ,
merusak, atau melakukan kesalahan lainnya, Anda dapat memilih sikap antara
menyalahkannya atau menginspirasinya. Bagaimana kemudian perilaku anak,
bergantung pada respon Anda sebagai orangtua.
Ida S Widayanti
0 komentar:
Posting Komentar